Tuesday 20 February 2018

Membaca Masa Depan Kertas melalui Media Cetak

Balada kertas di era milenial menemui beragam ancaman, terutama ketika harus diperhadapkan dengan tsunami internet yang melanda. Kehadiran kertas tampak bukan lagi menjadi kebutuhan primer yang harus ada dalam setiap interaksi literasi. Sebuah karya teknologi manusia yang diciptakan oleh Leonard Kleinrock di tahun 1982. Karyanya yang bernama jaringan komunikasi digital dan Arpanet itu berhasil mencuri mata dunia. Alhasil, perkembangan internet tumbuh begitu pesat. Hampir seluruh dunia mengenal. Setidaknya mengobati rindu untuk tampil di muka umum dalam hal ini, dunia maya. 

Ilustrasi (Sumber Foto: pexels.com)
Peta digital yang terhembus di Indonesia pada awalnya muncul di tahun 1990-an, hanya saja masih sangat terbatas. Barulah pada tahun 2001 bangsa Indonesia mulai berselancar lewat dunia maya. Mulai dari penulis kawakan, sastrawan, hingga penulis yang baru saja melalui proses latihan, mencoba-coba mencicipi lini masa dengan beragam status. Berangkat dari semangat dunia maya yang mengusung asas egaliter dan suasana akrab. Kemudian pada akhirnya, internet bukan lagi sesuatu yang baru, akan tetapi setidaknya mengundang gerakan literasi dalam wadah yang berbeda. 


Situasi paradoks yang muncul tersebut, yakni ketika gonjang-ganjing perdebatan mengenai eksistensi kertas saat ini. Terutama mengenai kualitas dan jangkauan. Lahirnya digital dianggap lambat laun akan mematikan kertas. Terlebih, tulisan-tulisan di cyber melalui berbagai platform seperti website, blog, atau media sosial lainnya hampir tidak mengenal batas-batas otoritas seperti yang terjadi pada kertas. Ini adalah realitas sosial yang harus diterima. Tak kalah pentingnya, ketika media cetak berbondong-bondong beralih menjadi online.  


Posisi kertas yang mengarungi masa kejayaan dan menjadi sebuah temuan yang sangat berpengaruhi terhadap peradaban dunia adalah ‘berlian’ yang berhasil memancarkan cahaya kehidupan. Ketika bahasa dipercaya sebagai salah satu temuan paling spektakuler, maka kertas adalah temuan yang superspektakuler. Kertas berhasil menyajikan bahasa lewat beragam tulisan yang kemudian ditularkan ke berbagai kelompok-kelompok sosial melalui penyebaran dari karya-karya yang diyakini sebagai sumber ilmu pengetahuan dan menjadi alat komunikasi yang cukup efektif yang terhalang jarak. 

Terkait perspektif bahasa, diakronis kertas adalah buah tangan dari seorang pria yang hidup di zaman Kekaisaran Cina, tepatnya selama dinasti Han Timur pada 50 Masehi. Ia dikenal dengan nama Cai Lun (Ts’ai Lun) di usianya yang masih sangat muda, ia dipercaya memangku jabatan sebagai klerus (kasim pengadilan) di istana yang dipimpin oleh kaisar He. Jauh sebelum zaman kertas masuk ke daratan Arab pada tahun 751 Masehi dan melintasi daratan Eropa pada abad ke-12, yang manufakturnya pertama kali diperkenalkan di Mainz, Jerman. 

Lun kala itu, mengambil peran sebagai seorang yang tidak begitu ramah dan cenderung aneh, namun berkat karakter ambisius yang dimiliki, ia berhasil menciptakan kertas. Dari olahan yang dibuat dengan mencampur kulit kayu, rami, kepompong sutra, jaring ikan, dan kain yang dimasak dalam satu tempat. Kemudian, ditumbuk bersamaan dengan tepung dengan bantuan para pelayan istana. Kertas yang dihasilkan tidak hanya mengundang decak kagum bangsa Cina, akan tetapi dunia memandangnya sebagai temuan fantastik. Tepatnya pada tahun 105 Masehi, kertas disempurnakan lagi oleh Cai Lun dengan komposisi yang paten, sesaat sebelum lelaki dari keluarga sederhana ini bunuh diri dengan cara meminum racun di tahun 121 Masehi. Berkat temuan tersebut, kini kertas dinobatkan sebagai salah satu karya terbesar sepanjang sejarah perjalanan hidup manusia, terlebih kontribusinya dalam pendidikan. 

Sampailah kita pada perbincangan mengenai eksistensi dan proyeksi masa depan kertas. Sejak awal kemunculan internet, orang-orang “memencak-mencak” bertarung untuk memprediksi kematian koran. Hal itu, disebabkan oleh banyaknya industri koran di Indonesia yang terpaksa gulung tikar dan beralih menjadi media berbasis digital. Kemudahan akses dan praktis menjadi salah satu penyebabnya. 


Orang-orang kebanyakan mencari hidup melalui internet, sehingga dengan asumsi “sambil menyelam minum air” media online menjadi pilihan utama. Guru Besar bidang Jurnalisme dari Birmingham University, Paul Bradshaw dalam bukunya Model fot the 21st Century Newsroom Redux (2012), bahwa berita online sangat bersifat sosial, dan terkait gaya hidup. Berita online seperti mata uang sosial yang datang dari hasil berita yang dibagikan orang lain. Pentingnya berita jenis tersebut, menurut Paul Bradshaw dimungkinkan karena besarnya pengguna internet yang didominasi oleh partisipasi masyarakat.


Meski data membuktikan bahwa,terhitung mulai 1 Januari 2016, harian Sinar Harapan berhenti terbit. Media surat kabarpun rontok satu persatu. Sebelumnya, beberapa media online memberitakan mengenai kejatuhan yang dialami harian Soccer pada tahun 2014, Bola pada tahun 2015, juga berbagai majalah lainnya yang mengurangi jumlah oplahnya. Senjakala napas koran tidak berhenti sampai di situ. Salah satu media ternama di Inggris, koran Independent dan mingguan Independent on Sunday juga harus tutup tertanggal 23 Maret 2016. Disusul dengan pamitnya majalah Maxim pada tahun 2017. 

Namun, di tengah berjatuhannya media cetak tersebut, fakta lain membuktikan, berdasarkan hasil riset Nielsen Indonesia menyatakan selama 2010-2014 menunjukkan potensi industri media cetak di luar Pulau Jawa lebih besar. Bahkan, hasil riset terbarunya pada tahun 2017, yang diterbitkan dan dipaparkan melalui media online Sindo News pada tanggal 7 Desember, mengungkapkan fakta, bahwa hasil survei yang dilakukan di 11 kota dan dengan responden berjumlah 17 ribu orang, Nielsen mengungkapkan, dari jumlah tersebut, 83 persennya membaca koran. Direktur Eksekutif Nielsen Media, Hellen Katherina menuturkan, bahwa media cetak di Indonesia cenderung dikonsumsi oleh konsumsen dari rentang usia 20-49 tahun. Ini adalah oase yang bisa mengembalikan spirit perjuangan para pemilik industri media.

Kepercayaan akan surat kabar juga masih konsisten di India. Penelitian payung yang dilakukan oleh Zeenab Aneez, Sumandro Chattapadhyay, Vibodh Parthasarathi, dan Rasmus Kleis Nielsen yang berjudul Indian Newspapers ' Digital Transition: Dainik Jagran, Hindustan Times, and Malaya Manorama pada Desember 2016, bahwa media cetak Hindustan Times, Dainik Jagran, dan Malaya Manorama, meski telah beradaptasi dengan media digital dan mencetak relatif kurang, akan tetapi tetap senantiasa melakukan evaluasi dan inovasi terhadap media cetak mereka. Ketiga media cetak tersebut, tidak melakukan transformasi besar-besaran dalam menyambut media online. Bagi ketiga media tersebut, media daring dan cetak berbeda kinerjanya, namun tetap saling menopang. Profibilitas produk cetak mereka dari sisi ekonomi, terus menghasilkan pendapatan signifikan yang disalurkan untuk memperkuat operasi digital dan membangun jangka panjang masa depan media. Bahkan, koran cetak masih dipandang sebagai inti dari produk dan pendapatan yang dihasilkan.

Begitu pula, hasil penelitian yang dilakukan oleh Jenni L. Presnell dari Universitas Miami dan Sara E. Morris dari Universitas Kansas, Amerika Serikat. Makalahnya The Historical Newspaper Crisis: Discoverability, Access, Preservation, and the Future of the News Record yang dipaparkan dalam kegiatan Konferensi Internasional Berita Media 2017 di Islandia, menemukan fakta, bahwa para ilmuan dan pustakawan memiliki tingkat kepercayaan terhadap surat kabar dibanding media digital. Hal itu disebabkan oleh rendahnya hak cipta yang dimiliki oleh media berbasis digital. Berbeda dengan koran, mampu melindungi kekayaan intelektual seseorang akan karyanya yang telah diterbitkan. 


Untuk itu, sejauh pengamatan penulis, era digital yang ada saat ini bukanlah sebuah lonceng kematian. Kertas akan tetap menjadi primadona, meski pun beberapa perannya digantikan oleh aplikasi-aplikasi hasil “sulap” dari internet.  Justru, dengan polemik ini akan memancing dan memacu ide-ide kreativitas dari para pemilik dan pengguna indutri kertas untuk terus berinovasi. Seperti pada kasus-kasus klasik yang menimpa media-media cetak. 


Berkorelasi dengan sejumlah fakta-fakta di lapangan dan sejumlah hasil penelitian yang ada, penulis memandang, bahwa lemahnya disiplin verifikasi yang ada pada berita model digital ini mengurangi kredibilitas. Lantas berimplikasi dengan kevalidan dan rendahnya kepercayaan masyarakat. Hal ini mampu memicu geliat konsumen media digital akan beralih membaca koran. Terlebih, era postmodern yang tak lagi menghamba pada kebenaran tunggal, mengakibatkan riuh gelombang perang tafsir menjadi sesuatu yang menarik, juga berpotensi mengambang. Olehnya itu, nilai kepercayaan dikarenakan kedalaman berita, media cetak cenderung lebih banyak digunakan sebagai referensi. 

Dari ulasan tersebut, sangat memungkinkan eksistensi kertas untuk terus digunakan media akan terus mengalami signifikan. Yang terpenting, jika ditinjau dari pergulatan para sastrawan,  hingga saat ini para sastrawan masih menaruh kepercayaan bahwa kredibilitas seorang sastrawan masih berada pada tulisan-tulisan yang diterbitkan oleh media cetak, dibanding dengan media online. Untuk itu, media cetak semestinya selalu melakukan perubahan sesuai kebutuhan masyarakat sebagai wujud dari ekskalasi media. 

Akhirnya, industri-industri kertas harusnya tetap bernapas lega menghadapi musim “digital” sebagai sebuah varian dalam perjalanan perusahaan. Termasuk industri kertas, Asia Pulp dan Paper Sinar Mas sebagai salah satu dari perusahaan produsen bubur kertas dan kertas terbesar di dunia, agar tetap mendistribusikan kertas-kertas ke perusahaan-perusahaan media cetak untuk dikelola dalam bentuk koran, majalah, tabloid atau bahkan buku dan lain sebagainya. Karena kertas adalah peradaban yang tak terelekkan, eksklusivitasnya mengikuti perkembangan zaman. (*)

Tulisan ini pernah diterbitkan di qureta.com
Baca!!!

Monday 12 February 2018

Merawat Muruah dan Lakon BPK dalam Mengawal Harta Negara


Ilustrasi (Foto: Int)
Balada korupsi yang melanda Indonesia sejak Orde Lama dan Orde Baru tertutupi dengan amat rapi, dikarenakan ketiadaan payung hukum yang mengaturnya. Bahkan, dalam Buku Saku (2017) "Mengenal Lebih Dekat BPK", di masa itu, sangat lazim pengelolaan keuangan negara dijalankan dengan menyimpang dari rencana anggaran semula. Disinyalir, keuangan tersebut tidak diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat. Itulah yang menjadi salah satu alasan, Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) hadir mengintai setiap tingkah laku yang dilakukan selama ini.

Berintegritas, independen, dan profesionalisme adalah narasi keimanan yang menjadi misi BPK. Dalam catatan Gambaran Umum BPK RI, dijelaskan, bahwa integritas mengacu pada sikap yang jujur, objektif, dan tegas. Sementara, independensi dimaksudkan, bahwa BPK bebas dari intimidasi dari mana pun. Begitupula, profesionalisme diarahkan bahwa BPK bekerja menerapkan kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan, serta berpedoman kepada standar yang berlaku.  Nilai-nilai tersebut tertanam kuat dalam setiap helaan napas pelaku-pelaku "penjaga" harta kekayaan negara itu.

Bertumpu pada sebuah visi yang transformatif, yakni menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. BPK telah berdiri tegak sebagai institusi yang memiliki otoritas penuh meneggakkan pemerintahan yang bersih.

Dalam rangka penegakkan pemerintahan sebagaimana yang dimaksudkan, tentu BPK memerlukan kerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat. Khususnya, dalam hal pemahaman mengenai eksistensi BPK, agar nantinya tidak ada komunikasi maupun interpretasi yang bias. Termasuk, pemahaman mengenai definisi pada frasa 'keuangan negara'.

BPK dalam sejarah, ihwal dihadirkannya sebagai nyawa zaman.  BPK  menjadi predator bagi siapa saja yang tak patuh aturan. Tepatnya 1 Januari 1947 dengan landasan asumsi yang kuat, bahwa BPK adalah "seruan" untuk melakukan pemeriksaan keuangan negara, kaitannya dengan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta apapun yang berwujud rupiah dan barang yang dapat dijadikan milik negara. BPK lahir dan tumbuh dalam berbagai dinamika rezim pemerintahan.

BPK lahir dari amanat UUD Tahun 1945. Pasal 23 ayat (5) UUD tahun 1945 yang menetapkan, bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang Keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal inilah yang menguatkan, bahwa BPK tidak serta merta dihadirkan, akan tetapi sebagai akibat munculnya ketakutan-ketakutan oleh founding father kita, akan kehancuran negara dikarenakan menjamurnya penyelewengan dan sejumlah hal yang dinilai menyimpang.

Sebagaimana yang tertera dalam Buku Saku (2017) "Mengenal Lebih Dekat BPK", peran dan tugas pokoknya diuraikan dalam dua hal. Pertama, BPK adalah pemeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara, dari manapun sumbernya. Kedua, BPK harus mengetahui uang negara itu disimpan dan untuk apa uang negara itu digunakan. Secara simplikatif, bahwa masyarakat harus diberi ruang akan informasi yang nyata mengenai penyelenggaraan negara akan pengelolaan keuangan yang dilakukan.

Sejatinya, pemeriksaan terhadap pihak yang mengelola uang negara, berangkat dari sebuah ikhtiar yang mulia. Agar kiranya mereka yang diamanatkan mengelola, bisa menggunakan sebaik-baiknya dan untuk kepentingan rakyat. BPK tidak menginginkan adanya tindakan 'main mata' dalam pengelolaan uang negara.

Perjalanan panjang yang diarungi BPK, menjadikannya semakin kebal akan badai. BPK merupakan lembaga yang tidak boleh terintervensi, berafiliasi, terlebih dikendalikan. BPK benar-benar menjaga muruah amanah. Bebas, mandiri, dan profesional seperti yang ditegaskan dalam UU No.15 tahun 2006. Presiden sekalipun tidak diperbolehkan untuk mencampuri kiprah dan mengendalikan ruang gerak BPK. Oleh karena itu, kedudukan BPK setara dengan presiden.

Terlepas dari hal itu, yang membanggakan, ketika Presiden RI Jokowi mengapresiasi BPK melalui pidato tahunan MPR 2017 di kompleks perleman. Jokowi memuji kinerja BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) pada tahun 2016 yang menyebet predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Terlebih beragam prestasi BPK yang diakui secara internasional

Prestasi BPK di kancah internasional sudah tidak diragukan lagi. BPK berhasil 'memaniskan' keringat kerja kerasnya. Di antaranya, Auditor to UN Internasional Anatomic Energy Agency Financial Years 2016-2017, Auditor to UN Anti Coruption Academic, FY 2016-2018, Chairman of INTOSAI WGEA, 2014-2018 dan banyak lagi pencapaian yang telah dilakukan oleh BPK selama ini.

Ini pola sistem kerja BPK (Foto: Buku Saku BPK RI 2017)
Namun, tidak dinafikkan BPK masih saja terseok-seok dalam menangani berbagai kasus dan diskursus yang menimpanya. Apalagi, masyarakat, semakin liar mengelabui. Terbukti, banyaknya kasus-kasus yang terjadi selama ini. Salah satunya, penyalagunaan dana desa. Di berbagai daerah, satu-satu persatu kepala daerah tertangkap tangan oleh aparat hukum, karena terbukti melanggar aturan main.  Selain itu, karena para kepala desa tidak menerapkan transparansi dan akuntabilitas dalam menjalankan uang negara.

Itulah sebabnya, BPK tidak boleh lepas tangan memantau fleksibiltas liukan-liukan para pemangku jabatan, agar pengakuan dan kerja tersebut bisa tetap terjaga. BPK tidak boleh mengingkari subjektif operasionalnya sebagai pengawal entitas harta negara.

Afirmasi yang berbunyi "BPK Kawal Harta Negara" adalah sebuah spirit kebersamaan untuk mencapai titik kulminasi dari berbagai goncangan-goncangan yang setidaknya bisa merecoki keteguhan negara. Untuk itulah, BPK menerobos berbagai potensi-potensi strategis yang kerap dijadikan celah bagi para pengguna keuangan.

Semisal, dengan adanya intruksi setiap warga negara untuk melakukan pelaporan harta kekayaan, khususnya bagi mereka yang ingin atau menjadi abdi negara. Hal itu dimaksudkan agar perjalanan langkah setiap orang akan mudah diketahui mengenai signifikansi keuangan yang dimiliki. Agar transparansi dan akuntabilitas tetap terjaga.

Kemunculan BPK bukanlah melakoni kerja-kerja KPK, akan tetapi kehadiran BPK lebih daripada mencegah kebocoran dan korupsi. BPK mengawal dan mengevaluasi kerja-kerja dan keuangan seluruh elemen dan instansi negara, agar bekerja proporsional. Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar  dalam sambutannya pada saat menggelar sosialisasi dengan tema “Peran, Tugas, dan Fungsi BPK dalam Pengawasan Pengelolaan Dana Desa” yang dilaksanakan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, pada hari Jumat (14/7), mengatakan, bahwa tugas BPK tidak untuk menjerumuskan atau menangkap orang maupun mempersalahkan, tapi, mendorong agar kita di dalam mempertanggungjawabkan keuangan negara itu secara transparan dan akuntabel.

Sebagaimana gambaran umum sistem kerja BPK;  setelah melakukan pemeriksaan, BPK serahkan kepada DPR, DPRD, dan DPD. Namun, jika dalam laporan tersebut ditemukan unsur pidana, maka akan akan dilaporkan ke aparat penegak hukum. Dan pola kerja yang terakhir BPK berhak memantau tindak lanjut pemeriksaan. Seperti itulah kerangka kerja BPK yang perlu diapresiasi.

Dari berbagai capaian yang dilakukan oleh BPK selama ini jangan hanya dinilai sebagai kenormalan kinerja. BPK dalam berbagai hasil evaluasi yang dilakukan telah berhasil menyelamatkan uang negara. Menyelamatkan isi perut bangsa ini.
Ilustrasi (Foto: Int)

Pada Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2017 (IHPS I), ditemukan sebuah bongkahan uang negara. BPK dalam pemantau Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan (TLRHP) 2010-2014 telah memantau 220.895 rekomendasi hasil pemeriksaan senilai Rp105,04 triliun. Sementara, pada 2015-30 Juni 2017, BPK telah memantau 105.916 rekomendasi yang senilai Rp103,79 triliun.

Begitupula pada pemerintahan pusat. Hasil TLRHP di pemerintahan pusat tertanggal 30 Juni 2017 senilai Rp31,72 triliun kepada entitas pemerintah pusat yang meliputi 97 kementerian/lembaga dan badan lainnya. Dan hasil pemantauan TLRHP pada pemerintahan daerah di tahun yang sama senilai Rp24,19 triliun kepada 542 pemerintah daerah. Belum lagi pada BUMN dan badan lainnya, tentu jika diakumulasi akan lebih banyak.

Dan hasilnya, sungguh mencengangkan. IHPS I tahun 2017, BPK telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp13,70 triliun. Jumlah itu berasal dari penyerahan aset/penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery. Ini jumlah yang fantastik dan BPK layak memeroleh tepuk tangan bernada bangga atas keberhasilan tersebut. BPK membuktikan diri sebagai lembaga pengawal harta negara.

Konklusinya, dari sejumlah keberhasilan yang ditunjukkan oleh BPK selama ini dalam mengawal harta negara merupakan wujud kerja nyata. Bukan hanya sebagai efek metodologis. Untuk itulah BPK dan masyarakat semestinya membentuk sinergitas kerja yang dilengkapi dengan kemajuan kesadaran. Agar kiranya, langkah-langkah BPK bisa bekerja tanpa kerepotan dan mengalami tekanan. Alhasil, terciptalah totalitas utuh yang bermuara kepada kesejahteraan menyeluruh.

Sumber data:

BPK RI. 2017. BPK Mendorong Pengelola Keuangan Menjadi Transparan dan Akuntabel. Online. http://www.bpk.go.id/news/bpk-mendorong-pengelola-keuangan-menjadi-transparan-dan-akuntabel
 
Buku Saku BPK RI. 2017. Mengenal Lebih Dekat BPK. Online. http://www.bpk.go.id/news/lomba-nulis-blog-bpk-kawal-harta-negara

BPK RI.2017. Gambaran Umum BPK RI. Online. http://www.bpk.go.id/news/lomba-nulis-blog-bpk-kawal-harta-negara


BPK RI. 2017. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2017. Online. http://www.bpk.go.id/news/lomba-nulis-blog-bpk-kawal-harta-negara


BPK RI. 2017. Siaran Pers: BPK Selamatkan Keuangan Negara Senilai Rp13,70 Triliun Pada Semester I Tahun 2017. Online. http://www.bpk.go.id/news/bpk-selamatkan-keuangan-negara-senilai-rp1370-triliun-pada-semester-i-tahun-2017


Baca!!!

Thursday 25 January 2018

Daya Saing Indonesia: Internalisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Pendidikan

Ilustrasi Pancasila (Sumber: google)
Tampaknya kita cenderung sepakat, ketika nama Pancasila dan Soekarno adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pidato 1 Juni, Sang proklamator yang menghentak tanpa dilanda kecemasan, apalagi digerogoti ketakutan berhasil memenangkan pertarungan dialetika yang cukup genting. Tak kalah pentinganya riuh tepuk tangan berkali-kali terdengar di ruang sidang. Bermodal retorika, lelaki berdarah Blitar itu, menampilkan aksi heroik di momen paling historis menjelang kemerdekaan 1945. 

Di Gedung Chuo Sangi In di Jakarta, sidang BPUPKI alias Dokuritsu Junbi Cosakai bersama dengan pemerintah Jepang yang dipimpin oleh Saikoo Sikikan berlangsung mulus. Soekarno dengan mudah memperoleh dukungan penuh untuk menjadikan Pancasila sebagai fondasi utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) . Meski sempat tarik ulur dengan sejumlah tokoh agama. 

Peristiwa itulah yang menandakan menetasnya  teks Pancasila yang tersusun spontanitas dari bibir the founding fathers kita, Soekarno. Teks pidato yang dibaca, mengimplikasikan tentang Indonesia sebagai tanah yang menempatkan semua golongan agar dapat hidup bersama dan produktif. Sebagai rumah besar bangsa, Pancasila diposisikan sebagai modal utama untuk menciptakan manusia-manusia yang memiliki kapabilitas dan kualitas mumpuni. Pancasila harus menjadi napas panjang dalam mengarungi rentetan-rentetan langkah untuk membesarkan Negara ini. 

Kala itu, Bung Karno menggenggam optimisme bahwa dalam waktu dekat, akan lahir sebuah negara yang bernama Indonesia. Negara yang dihuni oleh pelbagai makhluk yang beragam agama, suku, tradisi, dan sejarah panjang primordialnya.  Tentu saja, tidak lepas dari ketakutan-ketakutan yang menghantui Bung Karno akan sisi krusial yang diprediksi akan terjadi. Misalnya konflik-konflik horisontal dan kasus-kasus radikalisasi agama, seperti yang menjangkiti saat ini. 

Hari ini sampailah kita pada era postmodernisme, zaman persaingan yang sangat dinamis. Acapkali politik, hukum, agama, dan budaya dicampuradukkan dalam satu mangkuk besar. Hingga pada akhirnya, kesemrawutan terjadi di mana-mana. Untuk itulah, diperlukan kerangka strategis yang jelas dalam menghadapi keakutan situasi sosial. Salah satunya dengan menginternalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai nilai luhur bangsa yang harus tetap dijaga marwahnya. Pancasila harus mampu ditanamkan dalam diri untuk Indonesia dalam menyonsong ‘arena’ globalisasi. Sebuah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh Theodore Levitte pada 1985. Globalisasi merepresentasikan pudarnya batas-batas antarnegara, sehingga potensi persinggungan sangat besar dari perebutan daya saing. 

Sejumlah data membuktikan, bahwa daya saing Indonesia dalam tiga tahun terakhir cenderung fluktuatif. Terbukti pada tahun 2015 Indonesia berada pada peringkat 37, lalu di tahun 2016 menurun drastis ke posisi 41. Namun, laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2017 kembali memberikan angin segar. Melalui laporan yang bertajuk Global Convetitiveness 2017-2018 Edition, daya saing Indonesia kembali naik peringkat. Setidaknya, satu langkah dibanding posisi yang diperoleh pada tahun 2015. Menurut catatan dari berbagai informasi, faktor yang menyebabkan sulitnya kita mencapai posisi teratas, dikarenakan tingkat korupsi, kekacauan birokrasi, dan kendornya sumber daya manusia (SDM) yang berimplikasi pada stagnanisasi ekonomi Negara. 

Berkaca pada paradigma daya saing bangsa (national competitiveness), salah satu yang perlu diperkuat, yaitu ketahanan pondasi pendidikan. Relevansi pendidikan dengan Pancasila merupakan perwujudan dari paripurnanya pembinaan generasi muda yang tergolong masyarakat madani, masyarakat penghuni dunia pendidikan. Pendidikan harus bernapaskan nilai-nilai pancasila, sehingga terbentuk generasi yang adaptif, mandiri, dan tetap mengedepankan kultural. 

Pengimplementasian nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan dengan berbagai konstruksi yang beririsan terhadap regulasi pendidikan. Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini ditafsirkan sebagai modal awal pembentukan mental dan karakter dalam menjalani pergulatan kehidupan. Selain ketersediaan tenaga pendidik yang mumpuni, juga harus ditunjang dengan tempat beribadah yang menghimpun keberagaman umat demi merawat toleransi. 

Kedua, sila kedua terdapat nilai kemanusiaan. Butir-butir yang mengatur tentang penghormatan, kebersamaan membangun, tenggang rasa, dan semangat gotong royong. Terminologi gotong royong merupakan tuntutan yang pertama kali diminta Bung Karno dalam pidatonya tentang Pancasila sebagai penanda kultural, yang disejajarkan dengan nilai ketuhanan. 

Ketiga, sila ini mengandung nilai persatuan. Bagian terpenting dari sila ini, tidak lepas dari patriotisme dan nasionalisme. Mengobarkan kebanggaan akan tanah air, mengukukan kesatuan bangsa, dan mengkultuskan rasa rela berkorban. Keempat, sila ini menyonsong nilai kerakyatan. Konsepsi kerakyatan berarti lepas dari sikap egois atau individualis. Determinan yang dimunculkan adanya musyawarah dalam pengambilan keputusan.

Terakhir, kelima yaitu nilai keadilan sosial. Gagasan ini sesungguhnya merujuk pada penghilangan disparitas terhadap sesama. Sekalipun tabrakan-tabrakan kepentingan sosial terkadang mengikisnya. Pranata-pranata sosial harus tetap terjaga demi menghindari kemajemukan. Meropong Indonesia dari bentukan intrepretasi kata makmur dan adil secara lahiriah dan batiniah. 

Transformasi pendidikan berbasis pencasila diyakini dapat mengembangan kompetensi manusia Indonesia menghadapi daya saing global, sekalipun harus melewati infleksi dogmatis pengetahuan barat. Pancasila harus selalu diinternalisasikan dalam mengarungi perjalanan pendidikan, sehingga anak-anak bangsa mampu bersaing tanpa harus meninggalkan identitasnya dan kepentingan ideologi bangsa. (*)
Baca!!!

Kartini yang Tertindas Patriarki

Ilsutrasi Perempuan (Sumber: google)
Sebelum kita bincang kebebasan.
Mereka yang kita sebut perempuan,
tunduk pada penguasa
Budaya dan bahasa menjadi penjara.

Hanya karena gender, kita melabeli stigma
Mereka harus patuh pada kejantanan
Memoles diri demi memuaskan hasrat.
Perempuan memahami itu,
paham subordinasi dan pemarjinalan

Ada yang tertindas tak tersadari.
Dimangsa hegemoni, tertikam oleh dikotomi
Mata dan telinganya dijejali diskriminasi
Atas nama dominasi, lelaki genggam regulasi.
Mungkin tuhan adalah laki-laki.

Tiga gelombang perjuang ternyata belum juga merobohkan
Dari tahun 1800an, katanya sudah melawan
lalu kenapa masih banyak telanjang di jalan
Katanya tak mau dipinggirkan, rupa-rupa dekonstruksi dilakukan
Bermanuver dari dapur hingga kasur
Lalu mengapa kau masih takluk dengan rayuan
Tubuhmu masih banyak diperjualbelikan

Katanya lewat pendidikan semua teratasi
Semenjak era reformasi dialektika tiada henti
Di ruang-ruang perjuang, Kartini dihidupkan kembali
Lalu mengapa kau masih sibuk memerankan partiarki

Ini cerita klasik.
Perempuan masih asyik melakoni nasib.
Tentu tak pernah usai, karena lelaki
terkodrati melindungi dan mengayomi.
Perempuan menikmati bahu laki-laki. 

Malang, 6 Oktober 2017

Baca!!!

Tuesday 15 November 2016

Semalam dengan Diam

Ilustrasi (Foto: Int)
Kekasihku
Kau seperti lautan yang bisu
Aku tak menangkap apapun dari matamu
Kosong dan semua keheningan merestui
Aku yang luput dari semua itu

Kekasihku
Aku hanya ingin menyerupai bayangmu
Dan kau masih saja diam
Masihkah atas nama luka?
Hingga kau bungkam aksara-aksaramu

Kekasihku
He..he..tak narasi yang sanggup aku susun
Pertemuan berdurasi 10 menit itu, hening
Namun, dari sekian banyak sajianmu
Senyummulah yang paling menarik

Sayang
Jika kau minta sepucuk, ada beberapa bait yang kutulis
Tentang malam dan kenangan.
Tapi cukup itu saja
Ada beberapa larik yang lumpuh karena diammu

Tak ada hujan atau gerimis, tapi kau menangis
Setiap kupeluk, kau eratkan
Aku kuyub

Suguhan ini dan aku yang malang
Bertepi, puncak
Semalaman


(Malang, 15/11/2016)





Baca!!!

Monday 31 August 2015

Mawar dan Suaminya

Telat kumengenalmu,  penyesalan itu yang tak bisa kubendung. Waktu mengajari kita tentang bagaimana mencurinya disela rindu yang tak tertahan. Dengan apa aku menyapamu selain menawari peluk yang tak kau dapat dari suamimu.

Mawar begitu saya memanggilmu. Kesepianmu yang mempertemukan kita. Bulan purnama, aku mengeja namamu yang buta makna. Yang ku tahu, kau menenggelamkan keindahan lain. Aku lupa cara mencintai wanita lain. Tapi suamimu, duri yang menjagamu.

Kau selalu menjanjikan kesetiaan atas pengkhinatan dengan laki-laki yang memberimu buah hati. Katamu, Tuhan tak adil. Kau juga menyalahkan rasa. Dengan tabah aku menemani tubuhmu yang kuyub.

Ilustrasi (Int)
Kita menciptakan kisah dimana suamimulah yang memainkan peran utama. Lakon kita terbatas, hanya mampu menyemblih jeda. Setelah itu, menutup erat lagi. Sembunyilah sayang, mungkin sang Sutradara punya naskah lain, tentang masa depan kita.

Mawar, Aku kumbang mencoba bermain api dengan suamimu. Dan kau mawar menggigil menyambutku. Aku tenang, dan aku menang. Suamimu...ah...sudahlah..

Mawar...sayangku mendekaplah. Kita selesaikan hasrat. Lupakan saja suamiku...aku selalu siap mengantinya..kemarilah.

*Asri Ismail (31/8/2015)
Baca!!!

Friday 3 July 2015

Perempuan di Atas Langit

Merendahlah kau dari peraduanmu.
 Semilir angin di taman, bunga-bunga. 
Matamu melirik sesekali dan aku tertarik. 
Kau terlalu jauh dalam angan.
 Aku ingin menyerumput kopi dalam kesan
 Dan kau memaniskan rasa, itu senyummu.

Selepas beberapa kepakan sayap 

Kau semakin terbatas mata 
Lalu dimana lagi aku mencari 
Segelas air mata kusiapkan demi memintal senyummu

Beberapa debar tatkala bayangan wajahmu menghampiri 

Semakin kudekati kau lagi-lagi hanya melempar senyum dan berpaling
Terbang jauh....

Ilustrasi (Foto : Google Search)

Kau menciptakan rumit dalam cerita 

Serasa kau meletakkan pistol di atas kepala, mengancamku lalu mematikan asa
 Saya butuh perangkap lalu menjebak batinmu

Aku bukan pendekar yang hebat dalam laga 

Jangan mengancamku lewat pikiran 
Deretan resah terlalu menyiksa 
Aku sedang tidak baik-baik saja bukan hati ini, pikiranku yang terlalu lama kau curi.

Berhentilah melangit

 Sesengit apapun caraku menangkapmu
 Kau tak akan tersakiti 
Sebab kau adalah cawan 
Kutuangkan peluk, biar kau tenang
 Bersandarlah...


 ***Asri Ismail (03/07/2015)
Baca!!!

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...