Monday 9 March 2015

Kekerasan Perempuan di Buku Teks (Refleksi Hari Perempuan Internasional)

Opini Koran Fajar (9/3/2015) (Foto : Pribadi)
Sejak ditetapkan Hari Perempuan Internasional (Women‘s Internasional Day) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 8 Maret 1978 gelora kaum perempuan dalam memperjuangkan kesetaraan gender semakin meningkat.Tak pelak menjadi pemantik dengan hadirnya sejumlah organisasi dan komunitas perempuan di berbagai daerah. Termasuk munculnya delapan menteri perempuan di kabinet kerja ala Jokowi, terbanyak sepanjang sejarah kepemimpinan yang ada di Indonesia merupakan indikasi bahwa Indonesia menjunjung tinggi kesetaraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan. Terdiskriminasi, termarjinalkan, dan terlecehkan yang dialami perempuan adalah spirit untuk melawan stigma yang terlanjur merebak di masyarakat.

Seperti yang diketahui bersama, perspektif gender bukan mengakomodir perbedaan biologis, tetapi lebih menyoalkan perihal kontruk sosial terkait nilai dan tingkah laku yang menyebabkan lahir sekte-sekte antara kaum maskulin dengan feminim dalam pranata sosial. Dalam Women Studies Ensiklopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Peran pemerintah dalam menyukseskan konsep gender sebenarnya sudah sejak lama menjadi titik perhatian. Terutama di dunia pendidikan, pendidikan dengan segala perangkat pembelajarannya dianggap sebagai sarana yang efektif dalam proses pembentukan ideologi manusia. Ideologi yang dimaksud adalah ideologi kesetaraan gender. Keberadaan kesetaraan gender yang mulai dikampanyekan oleh pemegang kebijakan tersebut meliputi gender sistem pendidikan, pengajaran, dan perangkat pembelajaran yang ada di sekolah.

Sadar atau tidak, salah satu perangkat pembelajaran yang dimiliki siswa saat ini yakni buku teks, ternyata berdasarkan beberapa penelitian yang pernah dilakukan oleh sejumlah akademisi begitupula pernah diteliti penulis, menemukan adanya peristiwa seksis yang ada di buku teks. Misal, pada buku Bahasa Indonesia kelas VII untuk SMP/MTs penulis mengidentifikasi masih banyak teks-teks yang bias, dominasi laki-laki masih nampak secara dikotomis. Baik struktural maupun wilayah kerja. Belum lagi buku siswa dari disiplin ilmu yang lain, tentu tidak bisa dipungkiri polarisasi gender masih menjadi bahan yang tak disadari secara alamiah.

Kaum feminis seperti Sara Mills menguraikan bahwa kekerasan perempuan banyak terjadi pada teks, baik dalam novel, gambar ataupun dalam berita. Titik perhatian dan perspektif wacana feminis, menunjukkan bagaimana teks biasa dalam menampilkan Perempuan. Perempuan cenderung ditampilkan dalam teks sebagai pihak yang salah, marjinal dibandingkan dengan pihak laki-laki. Ketidakadilan dan penggambaran yang buruk mengenai Perempuan inilah yang menjadi sasaran utama dalam tulisan Mills. Analisis wacana yang disampaikan menunjukkan bagaimana wanita digambarkan dan dimarjinalkan dalam teks, dan bagaimana bentuk pola pemarjinalan itu dilakukan. Ini tentu saja melibatkan strategi wacana tertentu sehingga ketika ditampilkan dalam teks, wanita tergambar secara buruk.

Sepanjang pengamatan penulis, buku pegangan siswa dalam hal ini buku pelajaran terdapat empat titik yang kerap diindentifikasi terjadi bias gender. Seperti pada uraian materi, soal latihan, dan teks bacaan serta gambar ataupun ilustrasi, padahal keempat aspek tersebut merupakan rambu-rambu yang perlu diperhatikan secara seksama. Hanya saja, pada kenyataannya Departemen Pendidikan Nasional belum secara serius menyorot pemilihan kata-kata atau teks yang ada untuk dijadikan sebagai bahan ajar dan alat evaluasinya.


Beberapa ketidakadilan gender bisa diamati dengan memerhatikan melalui komponen-komponen penting tersebut. Semisal, dalam buku teks seringkali gambar atau pun ilustrasi laki-laki ditampilkan sebagai kaum yang superior sementara perempuan dihadirkan sebagai kaum inferior. Laki-laki biasanya dimunculkan dalam gambar sebagai seseorang yang berprestasi, kuat, dan memiliki pekerjaan yang jauh lebih baik. Sebagai contoh, yang bekerja di sawah, di kantor ataupun di jalan selalu saja ilustrasi yang ada adalah mayoritas laki-laki. Perempuan malah ditampilkan dalam kondisi “buruk”, seperti lebih banyak ditampilkan bekerja di wilayah domestik, gambar seorang ibu atau wanita sedang memasak, menyapu, mengasuh anak. Begitupula, jika terkait dengan taman bunga atau boneka pasti objek utamanya adalah perempuan. Semestinya kita menyadari sepenuhnya bahwa gambar/ilustrasi dalam buku ternyata menjadi media yang dapat menanamkan  ingatan yang kuat pada anak didik dan diterima lebih konkret.

Kontruksi gender pada buku teks tersebut secara tidak langsung telah memengaruhi sejumlah paradigma. Berbagai bentuk pencitraan yang dilakukan laki-laki dan sebaliknya perempuan ditampilkan sebagai kaum yang lemah, lembut, sopan, dan berada di atas bayang-bayang kekuatan laki-laki. Pada teks bacaan misalnya, mayoritas cerpen atau hikayat yang disajikan kebanyakan bercerita tentang perjuang seorang laki-laki, sedangkan perempuan di deskripsikan sebagai korban atas kebiadaban. Menurut Sara Mills, para pembaca (siswa) lebih mengidentifikasi dirinya menggunakan kode budaya yang berlaku di benak pembaca ketika menafsirkan suatu teks. Suatu teks memunculkan wacana secara bertingkat dengan mengetengahkan kebenaran secara hirarkis dan sistematis, sehingga pembaca mengidentifikasikan dirinya dengan karakter atau apa yang terjadi di dalam teks (Eriyanto, 2001:208).

Uraian tersebut membuka mata kita, ternyata di tengah perjalanan para pejuang gerakan feminisme ada penyimpanan-penyimpanan yang tak bisa ditangkap kasat mata, tapi memerlukan tafsiran mendalam untuk membongkar setiap makna yang ada dalam buku teks. Akibatnya, bisa saja merusak ideologi peserta didik. Belum lagi konflik streotipe, subordinasi dan beban kerja yang mendiskreditkan perempuan. 

Berdasarkan penggambaran atas kekerasan perempuan dalam teks, tentunya diharapkan para tenaga pengajar (pendidik) lebih memiliki kepekaan gender dalam proses belajar mengajar. Guru dalam hal ini mampu menangkap dengan cekatan jika melihat ketimpangan-ketimpangan gender yang ada dalam kelas. Tentunya, bukan hanya guru, namun setiap orang semestinya menginisiasi dirinya sendiri untuk menjalan konsep gender dan membudayakannya dalam ranah masyarakat. Sehingga perempuan mampu bersaing secara sehat dengan lawan jenisnya dalam hal apapun, terkecuali kodrat (jenis kelamin). Akhirnya, penulis mengaturkan selamat merayakan Hari Perempuan Internasional 2015.

Tulisan ini juga diterbitkan di kolom Opini, Koran Fajar edisi 9 Maret 2015




Comments
2 Comments

2 comments:

MomRafif said...

Saya perempuan, terima kasih telah menulis artikel ini

Asri Ismail said...

Hehehe..sama-sama.

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...