Wednesday 4 March 2015

Ayah (Sebuah Gejala Kebahasaan)

Akhir-akhir ini ada virus pergaulan yang menyerang remaja Makassar, munculnya istilah “Ayah” yang kerap dijadikan sebagai goyunan para anak muda dalam komunikasi sehari-hari menjadi trending topik di berbagai media lokal. Kata Ayah yang diiukuti sejumlah morfem lain yang berbentuk klausa maupun kalimat  yang bersifat kontekstual menarik perhatian para penggiat sosial media (Sosmed) hingga dijadikan sebagai bentuk percakapan informal. Dan kata-kata itu pun disampaikan menggunakan khas dialek Bugis-Makassar. Yang menarik sebenarnya lantaran leksem atau kata tersebut dikolaborasikan dengan gambar ataupun ilustrasi yang menampilkan sosok laki-laki yang bergaya perempuan, di Makassar kita kenal dengan sebutan bencong alias banci. Beberapa sumber mengatakan, asal muasal kata ini memang berasal dari kalangan waria. Meski hingga saat ini, belum jelas siapa yang pertama kali memperakarsai kata tersebut hingga menjadi fenomenal. Misalnya Bampaka Ayah, Kunci leherka Ayah, atau Ayah Bunuhma Takkala Hancurma, Mauka ke Jakarta Ayah karena Makassar Tidak Aman. dan masih banyak lagi berhamburan di berbagai jenis media sosial dan jejaring sosial. Kalimat seperti itulah yang kemudian dikreasikan dalam bentuk Meme. Perlu diketahui, Meme disini diartikan sebagai seni mengelola pesan digital. Kamus Merriam-Webster mendefinisikannya sebagai sebuah ide, kebiasaan atau gaya yang menyebar dari orang ke orang dalam suatu budaya. Tujuannya selain sebagai bahan hiburan ada juga yang sifatnya sebagai bentuk kritik terhadap kondisi sosial dan budaya saat ini.
Opini Tribun Timur (3/3/2015)

Maraknya Meme seperti itu, membuat penyebutan Ayah menjadi hal yang menjijikan dikarenakan dikemas dengan ilustrasi seorang banci seksi yang menyertai ujaran “Ayah”. Baik dalam proposisi dan tuturan pada sturuktur kalimat  yang ada. Lihat saja dari sejumlah meme yang ada, kata Ayah menjadi unsur yang paling ditonjolkan dalam klausa atau kalimat. Dalam tinjauan Sintaksis, Ayah ditempatkan sebagai kata pembentuk utama pada konstruksi strukur bahasa. Kata Ayah diposisikan sebagai subjek yang pasif. Misalnya, Ayah, Bakarma saja (Ayah, bakar saja saya) Ayah kunci leherka (Ayah tolong kunci leher saya). Kedua klausa tersebut terindetifikasi mengadung unsur predikatif yang memberikan kebebasan subjek berbuat apa saja. Keduanya juga bisa berfungsi sebagai kalimat imperatif, yang memerintahkan subjek.

Terlepas dari  tujuan utama dari lahirnya panggilan ayah di kalangan pemuda. Ada hal yang menimbulkan keperihatinan bagi penulis, sadar atau tidak, kata Ayah berimplikasi negatif, sehingga mengalami pergeseran makna. Hal ini sangat bertentangan dengan arti sebenarnya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi keempat, Ayah memiliki makna bahwa orang tua kandung laki-laki; Kata sapaan kepada orang tua laki-laki. Begitu pula dalam tinjauan Semantik, kata Ayah bisa diselidiki dari makna gramatikal dan leksikal. Secara gramatikal, kata ini belum mengalami proses gramatikal masih berupa kata dasar. Tetapi karena mengalami penambahan leksem akibatnya terjadi pemajemukan misalnya dalam klausa Bampaka Ayah, kalau tidak disayangma (Pukul saya Ayah, kalau memang saya sudah tidak disayang) jika ditafsirkaan secara umum, kita menangkap makna bahwa ada seorang anak yang meminta dipukul oleh Ayahnya. Pengaruh asosiatif kalimat menyebabkan nilai rasanya yang berbeda karena ada sesuatu yang berada di luar bahasa, yang dimaksud adalah gejala ujaran yang terjadi. Ayah diartikan sebagai panggilan sayang untuk seorang kekasih yang diperuntukkan bagi kaum laki-laki sehingga Ayah mengalami peyorasi (penurunan makna). Akan tetapi, jika menggunakan kacamata gramatikal bebas maka maknanya sudah tepat dikarenakan pengaruhi dengan kondisi budaya yang ada di Makassar. Sementara secara leksikal, Ayah dianggap sebagai suatu keutuhan yang berdiri sendiri, maknanya secara lepas di luar konteks yang mengikutinya (struktur klausa atau kalimat), berarti sama dengan makna yang ada pada KBBI.

Sementara  pada tinjauan Pragmatik, misalnya kalimat berikut,  di Bandarama Ayah mauka ke Jakarta, Makassar tidak aman. Kalimat kausalitas tersebut masih menggunakan kata Ayah dalam teks sebagai bentuk kritik atau perlawan terhadap kondisi yang dihadapi. Jika ditelisik dalam perspektif Pragmatik, kalimat tersebut berupa tindak perlokusi yang impilikaturnya berupa ketidaksenangan tinggal di Makassar, dengan praanggapan bahwa Makassar tidak aman. Ayah dalam hal ini sebagai suatu deksis, dimana maknanya mengalami perubahan secara leksikal. Seperti dikatakan dalam buku Cahyono (1995) mendefinisikan deksis sebagai suatu cara yang dipakai untuk mendeskripsikan makna yang diacu oleh penutur dan pengaruh situasi pembicaraan.  Pragmatik bagi Kridalaksana salah satu tokoh linguistik Indonesia mengatakan pragmatik diartikan sebagai syarat-syarat yang mengakibatkan serasi-tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi. Seperti penempelan-penempelan kata Ayah dalam kalimat.

Dalam tinjauan Sosiolinguitik, dikenal dengan nama bahasa prokem atau bahasa gaul. Hampir diseluruh lingkup pendidikan yang ada wilayah Makassar terutama anak sekolahan dan mahasiswa teridentifikasi gemar memakai tuturan itu, diolah dengan maksud menciptakan ruang-ruang yang bersifat lelucon, kritik, dan sajian kalimat yang memainkan kata Ayah dalam pelbagai bentuk tuturan sehingga menjadi sesuatu yang menarik. Fenomena kebahasaan seperti ini sebenarnya bukan pertama kalinya terjadi di Makassar. Sebelumnya muncul kata “anjing”, “sundala”, dan “kakak”. Kata-kata umpatan itu juga berimplikasi positif. Tidak lagi seperti makna semula. Semisal kata “Sundala” yang digunakan dalam kalimat, Sundala, cantiknya ini cewek. Morfem sundala disini dimaknai sebagai sesuatu rasa kagum atau pujian. Begitupun dengan kata Ayah, hanya saja justru kata ini mengalami perubahan makna ke arah yang negatif.

Kajian Sosiolinguistik yang mengkaji tentang bahasa, masyarakat, dan budaya. Memandang bahwa ketiga kompenen tersebut memiliki peran dalam membentuk munculnya istilah-istilah baru. Pandangan Ferdinand de Saussure (1916) salah satu tokoh linguistik modern menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Peran pemuda atau remaja sebagai penutur aktif dalam lingkup sosial sangat menentukan hadirnya kosakata yang mengalami perluasan makna dengan memilih diksi yang coba diasosiasikan dengan keadaan sosial. Terkait peristiwa sosial yang aktual, terutama di Makassar. Dalam beberapa bulan terakhir, maraknya aksi geng motor yang terjadi, membuat para nitizen tak ingin ketinggalan dalam mengulas, terutama dalam membuatkan meme. Hampir semua foto ataupun ilustrasi yang dipublis berupa kiritikan konstuktif tentang bagaimana membasmi geng motor. Gejala-gejala kebahasaan ini sangat penting untuk diperhatikan masyarakat, tidak hanya ikut menjadi “konsumen” yang memakan apa saja kata-kata baru yang dinilai terkenal dan enak kedengaran. Terakhir, setelah munculnya kata-kata Ayah, sekarang disusul lagi dengan adanya kalimat pelesetan baru, yakni “Di situ kadang saya merasa sedih” sebenarnya kalimat ini, kalau dianalisis berperan sebagai akibat dari apa yang terjadi. Misalnya kalimat sebab-akibat berikut, “Ketika melihat teman-teman wisuda, di situ kadang saya merasa sedih”.

Lahirnya berbagai istilah-istilah baru, tentu tidak lepas dari hegemoni sosial media yang menjamur. Masyarakat cenderung menjadikan tolok ukur jejaring sosial sebagai wadah hadirnya beragam jenis istilah yang menarik jika diaplikasikan dalam percakapan sehari-hari. Terlepas dari tepat atau tidaknya penggunaan istilah dalam suatu masyarakat,  hal ini membuktikan bahwa bahasa sebagai suatu yang dinamis mengikuti perkembangan yang ada. Selain itu, ini juga menjadi ajang permainan bahasa oleh masyarakat berkembang.

 Tulisan ini juga terbit di Koran Tribun Timur, edisi 3 Maret 2015...

*Asri Ismail (5/3/015)

Comments
2 Comments

2 comments:

MomRafif said...

Pergeseran makna ayah k ranah negatif, disitu kadang saya merasa sedih

Asri Ismail said...

@Danbo : Hehehehe...silahkan bersedih bro..asal jangan merontak..

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...