Friday, 8 March 2013

Mengajar Jangan Dihajar


Saat mengajar di SMAN 2 Watansoppeng
Sejumlah cerita yang saya dengar dari curahan hati teman-teman satu posko, ada banyak hal yang diungkapkan mengenai pengalamannya mengajar di sekolah tempat kami mengadakan Praktek Pengenalan Lapangan (PPL). Masing-masing sebenarnya punya metode sendiri dalam mengeksplore materi yang disajikan untuk siswa-siswanya.

Dari kumpulan cerita tersebut, masalah besar yang menjadi titik kejenuhan mengajar mereka adalah hadirnya beberapa siswa yang sangat sulit diatur alias tak mau ikut aturan main. Alhasil, memarahi, mengancam merupakan langkah solutif yang kebanyakan diambil untuk mengatasi masalah yang satu ini.

Memang, fenomena siswa “bandel” tidak bisa di pungkiri ataupun dihindari. Hampir setiap sekolah ada siswa yang seperti itu. Kategori siswa yang kita anggap sebagai siswa yang nakal itu pun berbeda-beda bergantung pada perspektif masing-masing pengajar.

Mungkin saja, ketika kita melihat ada siswa yang tidak memakai sepatu, tidak rapi dalam memakai seragam sekolah, tidak memerhatikan pelajaran, dan tak mau diam pada saat pembelajaran berlangsung, misalnya selalu mengganggu teman-temannya adalah ciri-ciri siswa yang nakal dan bodoh.Padahal,  semua itu hanyalah bentuk tingkah klasik siswa dalam lingkup pendidikan formal mana pun.

Saya pribadi sebenarnya kurang setuju jika cara kita menghadapi siswa yang seperti itu dengan cara memarahi, menasehati dengan nada mengancam atau menghukum dalam bentuk cara apa saja namanya yang selalu kita anggap adalah langkah paling efektif. Bukan kah strategi itu sudah lama diterapkan, namun hasilnya masih saja nihil. Buktinya, jika saja ini berjalan dengan baik, lantas kenapa kenalakan siswa masih saja tumbuh subur? Percuma kan. Bahkan, parahnya masih banyak yang menggunakan kekerasan fisik untuk memberikan efek jera.

Justru, bagi saya langkah itu akan semakin menekan perkembangan pengetahuan siswa. Ia akan semakin sulit untuk berkreativitas akibat selalu muncul ketakutan-ketakutan dalam benak mereka.  Namun, parahnya seorang guru malah sulit mendeteksi itu. Sepanjang pengamatan saya, guru hanya mampu menilai perihal tahu atau tidak tahu tentang materi yang dijelaskannya. Guru hanya mengetahui siapa yang pintar dan siapa yang dalam masuk dalam spesifikasi bodoh, guru hanya mengejar tuntutan daftar bahan ajar. Itu aneh kan namanya? (piker-pikir sendiri ya..he..he..he)

Tapi pernahkah guru berpikir, kenapa siswa ini ‘bandel’, kenapa siswa ini acuh terhadap pelajaran yang diberikan, kenapa siswa ini sangat susah diatur dan suka melawan. Jika gejala ini muncul, itu indikasi ada yang tidak beres dari kita pribadi sebagai tenaga pendidik. 

Mungkin saja, cara kita memberi materi yang kurang baik, dan kurang bersahabat ataukah aturan yang kita terapkan terlalu kaku, sehingga apa yang nampak dalam kelas sepertinya kita berkeinginan membuat mereka ibarat robot, yang harus mengikuti setiap intruksi yang di perintahkan.

Saya pikir, tugas kita sebagai guru tidak hanya sekadar mentransfer ilmu tapi bagian terpenting bagaimana kita mendidik siswa dengan cara terdidik. Bukan malah memarah-marahi mereka, menakut-nakuti mereka. Malah jika hal seperti itu diterapkan secara tidak langsung akan berimbas pada kondisi psikis dan menurunkan nilai sosial siswa.

Ingat bung,  setiap orang memiliki keahlian tersendiri, makanya jangan keseringan memaksakan untuk mengerti semua pelajaran yang diberikan. Terlebih, tujuan UUD 45 kan bukan hanya pada sebatas bagaimana kita menjadikan siswa pintar, tapi dalam cakupan yang lebih luas lagi yakni mencerdaskan anak bangsa. Dalam hal ini cerdas, sesuai keahlian yang dimilikinya.

Marilahlah kita legowo sedikit dengan memberikan ruang mereka untuk berkreasi dengan pikiran-pikiran positifnya, jangan terlalu sering memberikan beban yang terlalu memberatkan.

Apalagi, kita semua tahu jika ditelisik secara filosofi, sekolah itu kan berasal dari bahasa Yunani yakni schola’e yang berarti waktu luang. Maka, jangan menimpali kewajiban kita diatas hak siswa itu untuk memanfaatkan waktu luang yang mereka miliki. Mungkin terkesan terlalu plural jika hal ini kita kaji. Tapi minimal ini menjadi bahan pertimbangan bagi kita untuk mengetahui batas-batas yang kita miliki juga. (Asri_Ismail)


Orang bodoh itu adalah orang yang selalu membanggakan dirinya dan mengatakan dirinya pintar berikut selalu memandang enteng sesuatu, dan orang yang pintar itu adalah orang yang sebetul-betulnya pintar tapi selalu merendahkan dirinya.
(teringan-ngian petuah beliau)

Asri_Ismail, Posko KKN-PPL, Soppeng (4/3).

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...