Jika membayangkan sosoknya, dia hanyalah seorang
manusia yang tak lebih dengan wujud manusia lain. Ia diciptakan berjenis
kelamin wanita, lalu dihadirkankan sebagai pembawa generasi baru. Dari rahimnya,
lahir-lah manusia-manusia baru sebagai entitas dari sebuah perkembangbiakan
dengan lawan jenisnya.

Tak perlu banyak kita berdebat tentang kehadiran
seorang ibu, Ibu ya Ibu. Wanita yang telah mengandung kita selama 9 bulan
lamanya, lalu hadir-lah kita menatap dunia yang kejam ini.
Yang perlu kita renungkan, perjungan Ibu selama ini
hingga menjadikan kita bisa seperti apa yang tampak sekarang ini. Jika kita
memanggil-nya sebagai Tuhan, tentu tak ada salahnya, sebab dia adalah manusia
yang dititip Tuhan, ia diberi beban untuk untuk memelihara kita. Dia diwarisi
hati oleh malaikat. Dia tak pernah merasakan jenuh bahkan bosan untuk menjaga
dan merawat kita.
Ibu, jika saja aku engkau meminta nyawaku untuk mengorbankan
kepentingan-mu yang lain, tak akan ada kata “Tidak” yang mengindikasi penolakan
terlontar dari mulut ini. Sebab, kamu adalah Tuhan yang berhak atas diriku,
yang berhak atas kehidupanku ini. Kehidupan yang aku cicipi hari ini, adalah
efek moral yang kau berikan selama ini.
Kami tahu, kata lelah itu tak pernah ada dalam
benakmu. Engkau dengan ikhlas melakukan semua yang ada kaitannya dengan kami,
itu semua karena keinginanmu untuk membesarkan kami agar kami bisa memiliki hidup
yang lebih baik.
Mungkin, terkadang kita merasakan ada tindakan dari
Ibu yang dianggap membatasi kita. Namun, perlu kita pikirkan bahwa apapun
kebijakan dari dia, semata-mata karena dia tak mau melihat kita, jatuh pada
hal-hal yang bisa mencederai kita.
Entah pengorbanan apa yang harus kami perbuat untuk
membalas jasa-jasamu. Sebab, tak ada materi yang bisa mewakili dari ribuan
kelelahan yang kamu curahkan untuk kami.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2012
_Asri Ismail (Redaksi LPPM Profesi UNM)