Sunday, 17 June 2012

Stigmatisasi Gerakan Pers Kampus


Ketika pena tak mampu lagi menggores tajam layaknya sebilah pedang, maka suara publik tidak lagi tersampaikan. Cenderung, suara publik adalah suara kebenaran, maka kita dipaksa atau dengan sukarela harus tunduk pada kebenaran. Ini bukan persoalan kebenaran adalah milik khalayak ramai. Kebenaran adalah milik tiap individu yang merdeka. Wajar, dimanapun kita berada, setiap orang menuntut mendapatkan kebenaran.

Sebagaimana fungsi pers secara umum; to inform, to educate, to entertain, dan social control, maka pers mahasiswa dituntut berlaku demikian. Bahkan peranannya pun jauh bertambah berat ketika dihadapkan pada fungsinya sebagai mahasiswa. Agent of Change. Pers mahasiswa diharapkan membawa perubahan - secara khusus di lingkungan kampusnya - dengan menjunjung idealisme berdasarkan intelektualitasnya.
Sebagai seorang penggiat pers mahasiswa, saya selalu tergelitik mendengar kata “idealisme” itu. Bagi saya, kata-kata itu begitu “keren” sekaligus sakral menggambarkan peran pers mahasiswa. Namun, di benak saya timbul sebuah pertanyaan, idealisme seperti apa yang diharapkan dari kalangan pewarta kampus?

Jika menilik ke belakang, pers mahasiswa pada zaman orde baru begitu dielu-elukan. Mereka dianggap sebagai “pembela kebenaran”. Di kala pers-pers umum dicekik dengan ancaman pembredelaan oleh pemerintah, pers mahasiswa justru bebas bergerak sebagai pers alternatif. Dengan lugas dan terang-terangan, mahasiswa melalui tulisannya mengumbar tetek bengek kebobrokan pemerintah saat itu. Pers mahasiswa tidak segan-segan mengungkap kebenaran yang dituntut oleh masyarakat luas. Merekalah alternatif kebenaran bagi kaum-kaum marginal.

Akan tetapi, zaman telah berubah. Idealisme pers tidak sepenuhnya harus (lagi-lagi) dibebankan pada pers mahasiswa. Pers mahasiswa kini tak perlu lagi repot-repot campur tangan persoalan kebenaran buat warga Indonesia secara luas. Sudah terlalu banyak media-media umum bersaing di “pasar pers” semenjak dibukanya keran demokrasi di Indonesia. Media-media yang lingkup pemberitaannya lebih luas juga lebih patut untuk menggenggam idealisme lebih luas. Pers mahasiswa cukup memayungi lingkungannya sendiri. Seyogyanya di lingkungan institusi pendidikan, seperti kampus, bisa menganut idealisme serupa. Lingkungan kampus pun bisa digambarkan sebagai “miniatur negara”. Oleh karena itu, butuh peran seorang pewarta dalam menggodok kebenarannya untuk disampaikan ke warganya, dalam hal ini civitas akademika.

Idealisme Terkontaminasi
Terkadang, kita bangga atas julukan kita sebagai seorang pewarta kampus. Sedikit banyak kita mendapatkan keistimewaan dibandingkan mahasiswa-mahasiswa lainnya. Namun kenyataannya kebanggaan itu tidak berbanding lurus dengan idealisme yang semestinya dipegang.

Sulit memang, menjalankan tugas sebagai pewarta di kampus sendiri. Katanya, pers harus independen. Nyatanya, pers mahasiswa tak pernah independen. Lembaga pers mahasiswa yang aktif di lingkungan kampus tak pernah benar-benar bebas dari pengaruh institusinya. Bagaimana tidak, sumber pendanaan operasional untuk kehidupan lembaga itu digenggam erat oleh pimpinan universitas. Apatah lagi, ada lembaga pers mahasiswa di suatu kampus yang pimpinan medianya dipegang oleh seorang dosen atau birokrat kampus. Tidak jarang, berita-berita kontroversial yang diterbitkan pun masih bisa “disetir” oleh kepentingan birokrasi. Jikalaupun tidak disetir birokrasi, muatan berita cenderung “diasah halus” oleh pimpinan media mahasiswa tersebut – demi meminimalisir efek ketersinggungan dari birokrasi bersangkutan.

Disamping itu, runtuhnya idealisme per kampus juga disebabkan terjalinnya hubungan emosional yang baik dengan narasumber (Birokrat, red). Hal inilah yang terkadang sedikit menyulitkan para wartawan kampus yang dimaksud. Bagaimana tidak, tentu wartawan tersebut hanya selalu ingin memuat berita narasumber itu yang sifatnya pencitraan saja.

Belum lagi, jika si narasumber kerap menitipkan amplop kepada wartawan yang mewawancarainya. Tentu, ini juga suatu masalah yang tak boleh ditanggung-tanggung. Pepatah yang mengatakan alah bisa karena biasa ini akan menjadi penyakit besar jika amplop semacam itu selalu diterima si wartawan kampus. Kebiasaanya menerima hadiah kotor seperti itu, akan tergerus independensinya sebagai pers mahasiswa. Dan tentunya akan berpengaruh terhadap pemberitaan nantinya.

Di kampus saya, birokrasi - terutama rektor bersama jajarannya - sudah terlalu sering diberitakan “buruk” oleh media kami. Namun kenyataannya hingga kini hubungan yang terjalin masih cukup hangat. Jika selintas bertemu, mereka hanya berkelakar ringan, “Waduh, beritamu kok seperti itu?”. Kami pun menjawab seperlunya. Dan ternyata iklim seperti inilah yang bisa memupuk idealisme, karena pimpinan kampus tak takut dikritik maupun dicerca dikala berita yang menyorot namanya disampaikan secara benar.

Permasalahan sebenarnya, para jurnalis kampus tidak memahami penuh makna idealis itu. Maka bukan tidak mungkin berbagai penyimpangan sering menghinggapinya. Ataukan hanya sekadar memahami dalam konsep teoritis saja, sementara realisasinya keluar dari koridor. Dari sejumlah fakta empiris yang dipaparkan tadi menjadi bukti tidak adanya idealisme yang bercokol dalam ideologi wartawan kampus.

Pers kampus yang dulunya menjadi momok yang menakutkan bagi birokrat kampus, kini berbalik. Sejarah membuktikan, pers kampus yang dulunya garang akan segala pemberitaannya dan terbukti menjadi bumerang bagi para birokrasi yang bertindak atau mengambil kebijakan pincang akan menjadi sasaran tembak bagi pers kampus.

Namun, kini pers kampus menjadi “piaraan” yang mudah saja untuk “dijinakkan”. Dengan berbagai kompromi yang ditawarkan dan tentunya mendapat keuntungan penuh. Pers mahasiswa rela menurunkan harga dirinya dengan menjadi prajurit yang bisa dipimpong kemana saja.

Persma Ideal
Jika anda menanam padi maka tentu padi yang akan tumbuh, dan tidak mungkin jagung. Tentunya kalimat tersebut, adalah sebuah gambaran realitas yang teori apapun tidak mampu membantahnya.
Terkait kader pers mahasiswa, modal utama yang perlu diberikan tidak cukup jika hanya berupa profesionalisme kewartawanan. Dalam arti, bukan hanya materi tentang cara-cara meliput, cara membuat angle, maupun cara bertanya. Namun, modal yang paling penting adalah menanamkan dalam benak jurnalis baru itu berupa idealisme kewartawanan. Jika hal tersebut selalu menjadi pegangan bagi para watawan kampus, kedepannya akan lahir pers yang benar-benar pers bukan pers abal-abal.

Selain itu, para wartawan kampus seyogyanya memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata, apalagi jurnalis akan selalu diperhadapkan dengan sejumlah permasalahan kampus. Disinilah digunakan kecerdasan seorang wartawan kampus untuk menganalis secara tajam permasalahan tersebut.

Satu hal yang perlu diingat, pers kampus adalah suara kebenaran. Pers dituntut untuk menyuarakan kebenaran yang selama ini ditutup-tutupi. Jangan sampai, kita sebagai pers kampus hanya menjadi hamba birokrasi atau terjebak dalam kapitalis birokrasi.

Penulis : Asri Ismail dan Imam Rahmanto (Finalis Forum Diskusi Nasional Uinversitas Indonesia)

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...