Masih
ingatkah bagaimana perjuangan mahasiswa meruntuhkan rejim Soeharto, ditengah
era reformasi yang menggeliat. Presiden seumur hidup itu berhasil ditumbangkan
oleh sang orator ulung pada tahun1998, siapa lagi kalau bukan mahasiswa.
Terlihat jelas, ketika rejim Soekarno yang menerapkan pemerintahan militerisasi
sangat menekan kehidupan rakyat. Bermula dari situlah gerakan mahasiswa yang
tanpa hentinya melakukan presure demi persure untuk mengahantam setiap
kebijakan yang keluar dari mulut bapak pembangunan itu. Bahkan, untuk menuju ideologi
yang mereka tuntut, tak jarang drama bentrok kerap mereka pertontonkan, nyawa
mereka pun terkadang menjadi korban tatkala lawan tak memakai hati lagi. Perjuang
mahasiswa kala itu, masih dapat diacungkan jempol. Rakyat masih menilai positif
gerakan mahasiswa sebagai agen of change dan
social of control. Terlalu banyak
catatan heroik yang ditorehkan oleh para mahasiswa atau pemuda Indonesia kala
itu dalam perjuangannya menepaki negara ini kearah yang lebih baik.
Sekadar
mencoba menyegarkan ingatan kita, terkait gerakan mahasiswa/pemuda yang telah
mencatatkan dirinya dalam sejarah. Dalam buku “Mempersiapkan Generasi Baru : Investasi Jangka Panjang Pembangunan
Sulawesi Selatan” terjelaskan bahwa rentetan perjuangan pergerakan pemuda dimulai
sejak tahun 1908 yang dilakukan oleh kaum muda terpelajar dalam kelompok studi
Budi Utomo, dilanjutkan pada tahun 1928 melalui pendeklarasian Sumpah Pemuda,
sampai pada tujuan akhir pergerakan untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945. Lalu kembali menumbangkan kekuasaan Orde Lama yang memberlakukan
demokrasi terpimpin dan penyelewengan terhadap ideologi negara. Maka terjadilah
reposisi zaman, dari Orde lama menjadi Orde Baru. Hingga Pergerakan mahasiswa
yang secara massif tidak bisa dibendung lagi, Orde Baru pun ikut tumbang, meski
telah berkuasa selama 32 tahun.
Jika
kita melirik dari perjuangan mahasiswa sebelumnya, tentu status mahasiswa
sebagai kaum intelektual sangatlah diagung-agungkan. Hanya saja, masa lalu
tetap menjadi sesuatu yang tak akan kembali pada kondisi yang sama. Hal itu
hanya tercatat pada lembaran-lembaran kertas yang menjadikannya sebagai sejarah
belaka. Gerakan mahasiswa yang dulunya menjadi tumpuang masyarakat kini seakan
lumpuh. Tak ada lagi idealisme yang bercokol dikepala para mahasiswa, mereka
hanya mampu berteriak tapi gagal bertindak. Mahasiwa tidak lagi menjadi element
penting dalam pembangunan, hal ini disebabkan banyaknya gerakan-gerakan yang
menyimpang dan mengalami distorsi.
Masuk dalam Permainan Politik
Perubahan
paradigma masyarakat terhadap stigma mahasiswa yang dizaman demokrasi ini,
tentu tidak bisa disalahkan begitu saja. Realitasnya, gerakan mahasiwa saat ini
cendrung anarkis. Mereka justru tampak lebih senang jika aksinya berujung
bentrok hingga merusak segala fasilitas yang berada ditempat dimana suara
besarnya diperdengarkan. Ironisnya, gerakan mahasiswa disinyalir banyak
ditunggangi oleh orang-orang yang memilki kepentingan politik. Mahasiswa hanya
dijadikan sebagai boneka untuk memuluskan langkah para politikus tersebut.
Bodohnya lagi, mahasiswa sebetulnya mengetahui hal tersebut namun mereka tetap
semangat dan mengikuti setiap intruksi yang diperintahkan. Kesenangan mahasiswa
untuk tetap berada dalam lingkaran pembodohan itu, bukan tanpa alasan.
Iming-iming uang dan janji yang membuat mahasiswa tetap berada pada garis hitam
itu.
Bukan
tidak mungkin hal ini terjadi, apalagi sekarang terkhusus Sulawesi-Selatan
sedang persiapan Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA). Tentu banyak calon memakai
topeng dengan melakukan pendekatan berbagai wilayah lapisan masyarakat. Dan
mayoritas mahasiswa dijadikan sebagai target utama sebab dianggap orang yang
paling mampu membawa pengaruh besar terhadap perubahan sosial.Yakin dan pasti
para calon yang akan maju dalam Pilkada, sudah menyiapkan berjuta senjata untuk
menjadi winner dalam laga itu. Maka
peluru utamanya adalah mahasiswa.
Mungkin
saja, saat ini sejumlah mahasiswa diberbagai instansi belum menyadari secara
jelas kasus ini. Tapi perlu diketahui, ini adalah bomerang bagi mahasiswa.
Mereka akan masuk untuk menggerogoti setiap tubuh mahasiswa. Sehingga, bukan
tidak mungkin integritas mahasiswa akan mati dan meruntuh. Mereka seakan-akan
muncul sebagai pahlawan dan tak jarang berwujud sebagai orang yang dermawan.
Kapitalisme terhadap dunia pendidikan akan tetap tumbuh jika saja isu ini
bergulir menjadi kenyataan. Walaupun, tak jarang pula para pemeran politik
praktis itu sudah banyak yang membuat konstalasi tertentu dengan beberapa pihak
kampus. Tak perlu disebutkan, cukup kita melihat gambaran fenomena ini disekop
kampus yang berada Sulsel.
Kehidupan
mahasiswa memang sangat sulit untuk dihindari dari dunia politik. Politik
ibarat benalu yang selalu berada pada tubuh setiap instansi yang memiliki
rakyat yang mudah untuk dimasuki. Disinilah diperlukan daya kritis mahasiswa
untuk menganalisis setiap gerakan-gerakan dari pojok luar. Karena, apabila
kondisi ini tidak segera dicegat, maka jangan salahkan siapa-siapa, saat
politik menular di ranah kampus.
Berbagai
pendekatan politik yang ditempuh para politik saat ini tidak harus menghadirkan
tokohnya untuk terjun langsung mendoktrin para mahasiswa untuk mengikuti misi dari
politikus itu. Terkadang, para calon hanya mengirim koleganya untuk bekerja
dibawah tanah Intelektual, untuk memengaruhi para penghuninya. Arena politik
dalam dunia kampus, saat ini telah dimainkan oleh sejumlah aktor mahasiswa yang
telah runtuh independensinya. Sementara sang politikus, tertawa dengan aksi
licik yang dijalankannya, saat itu pula mahasiswa lambat laung akan menjadi
tumbal ditengah pergulatan politik yang semakin memanas.
Apalagi
kasus baru-baru ini, salah satu universitas di Makassar, terjadi kisruh antar
mahasiswa yang satu atap, hanya karena menentang adanya pembentuk kampus III.
Hal ini jelas, ada oknum yang coba menggulir wacana yang menjadikan mahasiswa sebagai alatnya
untuk kepentingan politik.
Gerakan dalam Tempurung
Tak
hanya dunia politik yang saat ini menjangkit mahasiswa, namun gerakan mahasiswa
yang hanya berada dalam kampus juga terancam mati. Sudah jarang terdengar
nyanyian menyurakan aspirasi rakyat . Kondisi ini, nampak dibeberapa universitas
yang ada di Makassar. Sejak beberapa bulan terakhir tak ada lagi aksi yang
mempertaruhkan idealisme yang dianut.
Tentu
saja, gambaran kondisi ini menindikasikan adanya ketakutan yang menyelimuti
benak para aktivis kampus terhadap sejumlah ancaman-ancaman dari birokrasi.
Apalagi, sudah banyak bukti yang diperlihatkan para petinggi kampus dalam
menunaikan ancamannya. Fakta membuktikan, efek dari gerakan mahasiswa yang
dinilai merugikan sejumlah pihak mendapat imbasnya. Kasus pencopotan status
mahasiswa terhadap 19 mahasiswa Universitas Negeri Makassar (UNM) yang diduga
bermula dari aksinya menolak Dana Penunjang Pendidikan (DPP), begitupula aksi
yang dilakukan sekelompok mahasiswa dalam berbagai tuntutannya justru mendapat
hadiah skorsing dan DO. Kasus ini menjadi
salah satu contoh kecil betapa tajamnya taring birokrasi.
Inilah
kemudian mempersulit langkah para pemuda kampus untuk bergerak. Mereka seakan
berada dalam lilitan aturan kampus yang tidak jelas keberadaannya. Aturan demi
aturan yang coba ditelurkan oleh pejabat kampus untuk mengkungkung gerakan
mahasiswa yang dianggap mampu menghalanginya dalam mencapai tujuan yang
diinginkan.
Potret
lain, birokrasi seakan tuli, ketika sejumlah mahasiswanya berteriak didepan
gedung jabatannya. Suara mahasiswa tidak lagi menjadi suara emas yang mampu
merubah segala kebijakan kampus. Aksi mahasiswa tak bernilai lagi, kehadirannya
hanya dianggap sebagai angin lalu yang tak membawa pengaruh terhadap
tindakan-tindakan birokrasi. Bagaimana kiranya ketika mahasiswa hanya berteriak
dalam tempurung, maka tak ada satupun orang lain yang peduli keberadaannya.
Cukup dengan Menulis
Wujud perlawanan
mahasiswa dalam arus globalisasi yang ditandai dengan pesatnya perkembangan
teknologi, tidak mesti diterjemahkan dalam bentuk demonstrasi. Mahasiswa harus
mampu selektif dalam memilih metode perlawanan yang efektif. Agar kiranya
eksistensi mahasiswa tidak meredup.
Ketika
mulut dibungkam, maka jalan satu-satunya adalah menulis. Kalimat ini tampaknya
perlu diaplikasikan, mahasiswa adalah kaum cendekia yang penuh keratifitas.
Setidaknya, dengan menulis mahasiswa mampu memperlihatkan kegelisahannya dalam
menghadapi sekelumit masalah dalam kacamatanya.
Apalagi,
untuk membendung masuknya pengaruh politik dalam kampus, menulis juga menjadi
alternatif paling baik. Menulis mampu mengalihkan pikiran seseorang untuk lebih
acuh mengadapi pengaruh-pengaruh negatif yang berbau politik. Bahkan, menulis
bisa menjadi senjata paling ampuh untuk memusnahkan segala praktik manipolitik,
cukup dengan menyerangnya lewat tulisan yang sekiranya mampu memberi daya tarik
terhadap kerabat mahasiswa lainnya untuk menghindari hal itu.
Terlepas
dari metode menulis, sekiranya integritas dan Independensi mahasiswa saat ini
tidak mudah diruntuhkan oleh keadaan apapun yang menghadangnya. Sebab ketika
hal itu rusak, maka keberadaan mahasiswa tidak lagi sebagai pemegang tongkat
estapet. Harapan bangsa pun akan sirna.*