Ia berlari-lari sambil berteriak-teriak, sesekali menawari senyum bagi langit. "Ini berkah, saya mencicipi sajianMu," begitu batinnya bergumam. Hujan belum jua berhenti, rindu Bunga pada sang kekasih semakin dalam. Ia menangis tersedu-sedu diantara rintik air hujan. Tubuhnya kuyub, sepertinya kedinginan. Tak ada kemesraan disetiap pelukan kumbang lain, selalu saja tersiksa karena harapan selalu berbuah sia-sia. Kembang manis itu belum berdiri dari luka lamanya.
Hari-hari berganti hingga hitungan tahun, Bunga masih sendiri. Siang berteman dengan sepi, malam meniduri sunyi. Ia terperangkap rasa, seringkali menahan dengan air mata. Sang kumbang terbang jauh, entah kapan balik menemui kembang yang setia memoles tubuhnya. Ia hanya yakin, dia akan datang, dalam waktu yang berbaris dengan senyum, kelak membawa keindahan. Dan tak akan pergi lagi.
Bunga tak butuh etalase. Baginya, ia adalah hiasan yang tak terbeli. Ia mengaku selalu menjumpai wajah-wajah kekasihnya dalam muramnya. Ruang berjeruji, langkahnya mati tepat di ujung bibir kekasihnya. Ironis, deritanya melabeli. Risau sekali, tak pernah berhenti gelisah.
Berulang kali ia mekar, ilalang di sekitarnya semakin liar. Aroma kekasihnya semakin dekat, namun bayanganpun tak pernah lewat. Bunga terus gelisah, menepi di tepian selokan. Ia semakin resah, jangan-jangan sang Kumbang berkhianat, menabur kemesraan di taman lain.
Ketika sore tiba, Bunga menanti isyarat lewat tanda-tanda senja. Dan ketika malam merenggut jingganya dari senja, luka kembali lalulalang. Begitu perih nasibnya, kenapa asa yang ditanamnya belum berakar. Sampai kapan ia menunggu.
Musim hujan telah pergi, di langit malam selalu ada bulan. Ia memimpikan ketukan pintu lalu datanglah sang Kembang dengan sapaan. Sungguh, berdansa di riak-riak air pada pesta sederhana dengan hiasan kecupan berkali-kali begitu dia idam-idamkan. Malam sebentar lagi memanggil pagi. Ia masih saja dalam khayalnya, tiba-tiba ia sadar, pintu bergoyang sepertinya ada tamu. Ia begitu riang,dari kamar. Ia sudah menduga kekasihnya akan datang di kelopak terakhir, dimana lukanya tak lagi bisa berkembang.
Tak henti-hentinya, ia menampar-nampar pipinya. Ia begitu bahagia, sebab ia percaya dibalik pintu yang terketuk, ada wajahnya kekasihnya menggenggam mawar harum yang akan dipersembahkan untuknya. Tiga langkah lagi, kunci pintu ia buka. Ia memasang ceria, dan membalas salam dari suara luar.
Ilustrasi (Foto :Int) |
Ia membuka pintu, lelaki berkain putih senyum di depannya. "Kekasihku...aku rindu," kata itu keluar dari mulutnya. Ketika ia ingin mendekapkan diri, lelaki itu hilang. Lelaki itu, pergi entah kemana. Hanya ada darah berceceran di sekitar pintu. Ia histeris, ia menyakini bahwa ini tanda-tanda kekasihnya mati tertikam rindunya. Bau tanah menyeruak di sekelilingnya. Sari dari Bunga itu telah tercabut. Kekasihnya telah tiada. Dalam rantaunya, sang Kumbang tak mampu melunasi janjinya untuk datang kembali. Perempuan itu, kembali menangis keras, satu persatu kelopaknya berjatuhan. Rumput-rumput liar melilitnya, hingga kematian juga menjemputnya. Cintanya abadi....
***Asri Ismail (16/01/2015)