Friday 23 January 2015

Kapan Sarjana? Tut..tut..Hilang

Saya pribadi menyakini, akan ada suatu masa pertanyaan yang sejatinya menyemangatkan itu akan hilang. Orang-orang yang hatinya sumpet, lelah, marah, atau apapun alibi yang diperbuat saat ditanya kapan sarjana? Akan haus pertanyaan itu. Orang-orang tersebut kelak sangat butuh ditanya-tanya mengenai penyelesaian studinya, namun sialnya, tak ada satupun yang berniat mengubrisnya lagi. Miris.

        Maksud saya, dalam beberapa kondisi realitas yang saya temui, saya melihat sejumlah teman-teman sekampus, merasa sangat jengkel ketika teman atau pun juniornya mencoba menimpalinya dengan sejumlah pertanyaan perihal waktu mereka memakai toga dan menyandang gelar akademik. “Tidak usahmi tanya-tanya itu deh, ini kan hidup saya, saya yang jalani, tidak usah pusing,” begitu cara mahasiswa tingkat “Dewa” ini menjawab. Jawaban itu sebenarnya tidak salah, tapi saya malah menyesalkan. Bukan apanya, semestinya kita (Mahasiswa Tingkat Akhir) menanggapi dengan positif. Bukan malah mencoba membela diri dan menyinggung si penanya. Takutnya, nanti mereka yang kerap bertanya akan dihinggapi sikap apatis, tidak lagi memperdulikan. Padahal, sebenarnya jika ditangkap baik-baik maksud mereka itu sangat mulia. Itu merupakan bentuk-bentuk keprihatinan atau kepedulian kepada kita. Janganlah kita menafsir-nafsirkan bahwa itu sebagai olok-olokan.
Ilustrasi (Gambar : Int)

    Sesungguhnya, kita yang sering dihinggapi pertanyaan “nyesek” seperti itu patut bersyukur, sebab ternyata masih banyak orang-orang di sekitar kita yang memikirkan nasib atau langkah kita selama ini. Setidaknya, bisa dijadikan motivasi untuk “bersegera” berangjak, meninggalkan status itu. Agar kiranya, ke depan, pertanyaan itu sirna, dan memunculkan pertanyaan baru lagi. Mungkin saja pertanyaannya, Kapan Nikah? Mau lanjut dimana?. Nah, itu kan sedikit membuat adem.

    Bayangkan saja, jika suatu saat nanti. Kita ini yang sedang semangat-semangatnya kerja tugas akhir, tapi tidak ada lagi orang-orang yang mau mendengarkan ocehan kita mengenai betapa ribetnya mengerjakan skripsi. Jangankan teman seangkatan, junior mungkin orang tua kita saja yang selama ini tak henti-hentinya menagih, juga sudah tidak mau tahu. Bukan kah itu sebuah masalah besar? Silakan pikirkan. Terlebih, saat sahabat-sahabat kita sudah satu persatu melambaikan tangan perpisahan. Mereka lebih duluan mencoba hal baru di luar sana. Sementara kita, masih saja setia berada di kampus. Itu tentu akan membuat kita semakin tersiksa.

    Bagi saya, menjelang sidang akhir ini, meski harus bertahan di kampus selama lima tahun lebih. Suatu hal yang paling saya banggakan dan saya syukuri. Sebab, hingga saat ini, tak henti-hentinya pertanyaan-pertanyaan seperti yang saya maksud itu menghujani. Artinya, diantara sekian banyak kepedulian yang berdatangan selama ini bisa saya buktikan. Saya belum ditinggal “pergi” dari pertanyaan itu. Meski, saya sadari sedikit berkurang. Lalu, bagaimana dengan mereka yang selama ini acuh dan cuek, tidak mengolah pertanyaan-pertanyaan itu sebagai pelecut. Sekali lagi saya katakan, itu akan hilang bersamaan dengan kebosanan orang-orang terdekat kita.

    Semoga saja kita tidak termasuk sebagai orang-orang yang merugi. Sudah terlambat selesai, ditambah lagi tidak ada lagi orang yang memperhatikan kita.

Asri Ismail (24/1/15)

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...