Saturday 6 December 2014

“Menggulung” Malas

Sebelum saya memulai tulisan ini. Secangkir kopi Cappucino bersama dengan beberapa batang rokok sudah saya siapkan. Kebiasaan saya memang seperti itu. Saya sama sekali tidak bisa menulis panjang, jika kedua barang konsumsi tadi tidak ada di samping. Diantara jeda jari mengetik, saya menyempatkan mengisap rokok sambil menyeduh kopi. Rasanya, semangat menulis saya tidak ada habisnya. Semacam, obat pelecut begitu. 




Ilustrasi (Foto : Int
Tapi ya sudahlah, hari ini saya ingin menulis, tentang penyakit saya. Dan mungkin, hampir setiap yang menamakan dirinya manusia, pernah terjangkit. Bahayanya bisa menular. Namanya malas.

Dalam beberapa pekan terakhir ini, tugas paling menyita waktu saya selama saya mencicipi namanya kuliah yakni Skripsi. Setelah saya melewati ujian Proposal kemarin, Oktober lalu. Rasa-rasanya mulai jenuh. Semangat saya langsung hilang. Bukan apanya, waktu itu saya memburu jadwal wisuda bulan Desember. Namun mau apalagi, tiba-tiba saja, jadwal dipercepat ke bulan November. Berlari sekencang apapun, saya tidak mungkin dapat memakai toga. Pikirku saat itu. 

Perlu diketahui sistem administrasi di jurusan saya terbilang ribet. Untuk happy ending, saya mesti melewati tiga tahap, pertama proposal. Alhamdulilah, tahap itu saya lewati kurang lebih satu bulan bekerja. Setelah proposal, kita mesti melangkah ke ujian hasil. Hingga sekarang, saya masih dalam proses menuju titik itu.  Dan terkahir ujian meja. Kata beberapa teman saya, jarak waktu antara hasil dan meja, hanya berkisar satu minggu. Belum lagi persoalan menunggu penguji, pembimbing dan perihal administrasi lainnya. 

Dari pada saya memarahi diri sendiri, saya mencoba menenangkan pikiran saja. Ya mau apalagi, saya harus kembali berjalan terus, hingga bulan April. Jadwal wisuda berikutnya. Saya sudah meyakinkan diri, bahwa tidak ada lagi alasan tidak mengakhiri status saya sebagai mahasiswa starata satu (S1) di tahun 2015 nanti. Tepatnya April ya. Lagian, penelitian saya tidak terlalu banyak makan waktu, berbeda dengan penelitian tindakan kelas atau eksprimen, yang memerlukan waktu minimal 2 bulan meneliti. Saya memilih penelitian kualitatif, sepertinya relatif memudahkan. 

Judulnya “Analisis Wacana Buku Sekolah Eektronik SMP Kelas VII dalam Perspektif Teks Gender” cukup mudahkan. Saya hanya butuh “berpacaran” dengan Sara Mills, wanita yang ahli dalam memainkan isu gender. He..he..he..

Oh ya, saya kan tadi janjinya bercerita mengenai malas ya. Apa yang saya tuturkan diatas, sebenarnya adalah akar masalah kenapa lagi-lagi penyakit itu menyerang saya. Saya, sepertinya putus asa. Terlalu banyak orang yang berharap dan akhirnya kecewa sebab ternyata bulan Desember lagi-lagi berlalu begitu saja. Sakitnya tuh disini...lirik lagu Cita-Citata.

Bagi saya malas, seperti penyakit yang kapan saja bisa menyerang. Jika, ada orang-orang yang menampung masalahnya berlarut-larut, pada saat itu pula penyakit malas bersarang. 

Berdasarkan empirik saya, entah sudah berapa puluh kali saya mengalami ini. Hanya saja, saya pribadi menafsirkan malas itu bukan berarti bermurung dalam kamar. Tapi, ada hal prioritas yang saya tanggalkan, dan menyibukkan diri dengan hal-hal yang lain.Lalu merasa nyaman dengan kondisi itu. Beberapa kali saya mencoba melawan rasa itu, namun sialnya saya beberapa kali juga terjatuh dalam dekapan malas. 

Anehnya, ketika saya sedang asyik-asyiknya menikmati kemalasan saya dengan aktivitas lain. Selalu teringat, seperti ada rasa penyesalan. Ya, seperti Skripsi ini, jika saya pikir-pikir jika saja aku tidak memaksakan diri untuk mengerjakan hingga selesai. Entah, berapa kali lagi orang tua, memberi kultum kepada saya. Dan satu hal yang penting, aku tidak mau lagi bersembunyi terus. Maksud saya, bersembunyi dari pertanyaan-pertanyaan yang menohok. Kadang ada yang bertanya, “Kapan wisuda, Asri? Masa kuliah lama sekali,” selalu saya timpali dengan argumen lain. “Ada pertanyaan lain selain itu?,” tutur saya sambil menundukkan kepala.

Seyogyanya, bagi saya malas itu memang perlu ditendang jauh-jauh. Sebab, kapan dibiarkan. Dia akan berkembangbiak. Dan manusia yang digerogoti malas, akan bertambah penyakitnya. Manusia itukan akan semakin apatis dengan teguran orang-orang disekitarnya. Tak peduli apapun orang bilang terkait dirinya. Dan itu bahaya, karena penyesalannya bakal berlarut-larut, kata Bosku begitu. 

Mulai hari ini, tak ada lagi kata malas. Saya, tidak boleh berleha-leha terlalu lama. Saya harus menuntaskan janji. Ini ikhtiar saya, tapi kan menilai nilai seseorang itu dilihat dari tindakan di lapangan. Tolong, tegur saya jika mencoba lagi lari...Mari bersama-sama menggulung malas. (*)

***Asri Ismail (7/12/14)









Comments
2 Comments

2 comments:

Anonymous said...

Lariko nak!

Asri Ismail said...

Hahahaha..mau berlari kencang ini kak....Salam sama Pak Sumadi, Dosenta..hahaha

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...