Lalulalang kendaraan melintas, sebatang rokok masih
setia terjepit dibibir mungilnya. Asapnya mengepul, begitu nikmat. Ia duduk
dengan mata yang melirik sana-sini. Kadang-kadang dering handphone miliknya bergetar, ia acuhkan. Seringkali wajahnya
tertangkap murung, mungkin lesu karena pria yang dia tunggu belum jua datang.
Tiba-tiba mobil Fortuner hitam melaju di jalan,
kendaraan mewah itu singgah tepat di depan Nining. “Ayo naik” panggil pria
seabad itu. Gadis yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar
itu langsung saja memasuki mobil, tanpa menjawab instruksi dari sang pemilik.
Dengan sekejap, ia sudah berada pada sebuah hotel. Seperti itu, siklus yang
hampir setiap malam aktivitas yang dijalani mahasiswa asal Jawa ini. Setelah
sampai di kost, ia langsung merebahkan tubuhnya dengan tas berisi beberapa lembaran uang merah.
***
Pagi-pagi sekali Nining sudah mulai bereskan kamar
kost. Aku melihat beberapa butiran keringat di wajah dan pergelangan tangannya.
Oh ya, kost-kost kami memang diisi dengan lelaki dan perempuan, tak ada sekat
diantara kami, kecuali dinding kamar yang berupa tembok. “Gus hari ada kuliah
gak?,” tanya Nining kepadaku yang baru saja selesai mandi.
Aku menjawab seadanya, memang hari ini aku ada
kuliah. Ternyata Nining ingin nebeng
ke kampus. Aku dan dia sudah dua tahun selalu sama. Segala, aktivitasnya pun ia
selalu ceritakan. Termasuk, saat dia kencan dengan salah satu pejabat kampus.
Untungnya, Nining tidak terlalu tenar, makanya ABG tua itu sama sekali tak
mengenalnya. Lagian, pada beberapa pelanggannnya, ia mengaku kuliah di kampus ecek-ecek.
Di kelas, seperti kebanyakan mahasiswa lainnya ia
tergolong biasa-biasa saja. Tak ada yang menonjol terutama pada akademik. Ia
kerap kali disinggahi nilai standar. Hanya saja, bodi dan wajah yang menarik
terkadang beberapa teman dan dosen tidak konsen dalam proses belajar mengajar. Hampir,
di jurusan lain tak ada yang mengenal dirinya.
Senja baru-baru saja menghilang dari peraduan
langit, suara adzan di Masjid pun sudah berakhir. Malam telah tiba,
perlahan-lahan bulan mengintip senyum dari bibir mekar Nining. Ia baru saja
selesai berdandan. Sejak sore, ia bilang kepadaku, kalau dirinya sudah janjian
lagi dengan seseorang yang sama sekali ia tak pernah melihat wajahnya. “Kalau
dengar dari suaranya sih kayak dia sudah berumur” kata Nining bercerita selepas
pulang kampus, sore tadi. Selama ini, sebelum kencan Nining sudah saling
kirim-kirim gambar via smartphone dengan calon pelanggannya
tersebut, berbeda dengan “pria semalam” Nining kali ini. Pria itu mengaku tidak
punya alat canggih untuk saling kirim foto. Namun, dengan modal nekat, kali ini
juga perempuan semester 5 itu, menerima tawaran laki-laki itu.
Tepat pukul 20. 00 Wita, dengan keriuhan kota
Makassar, Nining sudah berada di dalam taksi. Malam dengan seabrek aktivitas,
para penghuni kota “metropolitan timur” begitu kebanyakan orang menyebutnya. Seperti
biasa, jika malam minggu tiba hampir jantung sulsel itu dipenuhi
manusia-manusia. Mungkin saja melepas penat atau memenuhi hasrat dengan
orang-orang tercinta.
“Dek, ke hotel Salis ya?” kata sopir taksi bertubuh kekar itu
“Iya pak, ke langit, langsung ke hotel saja” kata Nining dengan judes.
Entah sudah beberapa kali, pria yang ingin dituju Nining
menghubungi dirinya. Namun dengan alasan singgah di apotek, akhirnya calon
teman kamarnya menutup telepon. Rok mini warna hitam dipadukan dengan tanktop kuning
yang ditutupi jaket warna gelap. Ia tampak cantik sekali malam itu, high heel yang dia kenakan pun semakin
membuat sensual penampilannya.
Ia pun bergegas menuju lantai 7, seperti informasi
yang diberikan si pelanggan. Kamar 703, ia mengetuk pintu. “Langsung masuk
saja, aku di kamar kecil” teriak lelaki dalam kamar itu. Nining pun langsung
masuk, ia duduk dipinggir kasur sambil menunggu. “Hallo, dari tadi?” tegur pria
yang sedang menggosok kepalanya dengan handuk. Perlahan-lahan Nining mengangkat
wajahnya untuk melihat laki-laki misterius tersebut.
“Ayah, kamu Ayah?” tanya Nining dengan kaget.
“Ning?”balas lelaki tua itu. Begitu tegang suasana malam itu. Nining mencoba berlari ke pintu, ia ingin meninggalkan kamar tersebut. Ia tak pernah menduga, kalau laki-laki yang selama ini membuatnya penasaran ternyata orang tua kandungnya sendiri.
Desiran air hujan malam itu mengguyur Makassar,
beberapa kali tamparan menimpali pipi Nining. Air mata berurai tak lagi dapat
dibendung. Mata merah juga nampak di pandangan ayahnya. Lelaki itu memeluk erat
Nining, sambil mengelus-elus bahunya. Ia sadar, selama meninggal anaknya, dia
kurang perhatian. Semua dipikirkannya adalah uang, hampir 3 bulan terakhir
sebagai seorang ayah dirinya tak pernah menanyakan perihal kabar Nining,
anaknya. Ayah Nining adalah salah seorang pengusaha besar, hampir tiap bulan
dia keluar kota dalam waktu yang lama.
Tuhan menakdirkan mereka bertemu dalam agenda haram,
ketika orang tua dan anaknya tak pernah lagi saling menyapa. Maka, kehidupan
semau gue yang berjalan. Dan pertemuan malam itu, Saat itu pulalah, keduanya sadar bahwa manusia
hanyalah budak nafsu dan lainnya adalah produk nafsu.
Bersambung.........
Ini
hanya gambaran, secuil kehidupan kampus...stigma
***Asri Ismail (6/12/2014)