Friday 5 December 2014

Kunang-kunang Kampus #1

Malam masih panjang, dengan gerimis hujan membasahi tubuh Nining. Ia menyempatkan berteduh di bawah tempat  penjual kaki lima. Sesekali percikan air hujan mengenai pakaiannya. Perempuan 19 tahun ini masih setia menunggu. Seperti biasa, ia lagi menanti pria hidung belang yang beberapa jam lalu janjian dengannya.

Lalulalang kendaraan melintas, sebatang rokok masih setia terjepit dibibir mungilnya. Asapnya mengepul, begitu nikmat. Ia duduk dengan mata yang melirik sana-sini. Kadang-kadang dering handphone miliknya bergetar, ia acuhkan. Seringkali wajahnya tertangkap murung, mungkin lesu karena pria yang dia tunggu belum jua datang.

Tiba-tiba mobil Fortuner hitam melaju di jalan, kendaraan mewah itu singgah tepat di depan Nining. “Ayo naik” panggil pria seabad itu. Gadis yang kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar itu langsung saja memasuki mobil, tanpa menjawab instruksi dari sang pemilik. Dengan sekejap, ia sudah berada pada sebuah hotel. Seperti itu, siklus yang hampir setiap malam aktivitas yang dijalani mahasiswa asal Jawa ini. Setelah sampai di kost, ia langsung merebahkan tubuhnya dengan tas berisi  beberapa lembaran uang merah. 

Ilustrasi (Foto : Int)

***
Pagi-pagi sekali Nining sudah mulai bereskan kamar kost. Aku melihat beberapa butiran keringat di wajah dan pergelangan tangannya. Oh ya, kost-kost kami memang diisi dengan lelaki dan perempuan, tak ada sekat diantara kami, kecuali dinding kamar yang berupa tembok. “Gus hari ada kuliah gak?,” tanya Nining kepadaku yang baru saja selesai mandi. 

Aku menjawab seadanya, memang hari ini aku ada kuliah. Ternyata Nining ingin nebeng ke kampus. Aku dan dia sudah dua tahun selalu sama. Segala, aktivitasnya pun ia selalu ceritakan. Termasuk, saat dia kencan dengan salah satu pejabat kampus. Untungnya, Nining tidak terlalu tenar, makanya ABG tua itu sama sekali tak mengenalnya. Lagian, pada beberapa pelanggannnya, ia mengaku kuliah di kampus ecek-ecek

Di kelas, seperti kebanyakan mahasiswa lainnya ia tergolong biasa-biasa saja. Tak ada yang menonjol terutama pada akademik. Ia kerap kali disinggahi nilai standar. Hanya saja, bodi dan wajah yang menarik terkadang beberapa teman dan dosen tidak konsen dalam proses belajar mengajar. Hampir, di jurusan lain tak ada yang mengenal dirinya. 

Senja baru-baru saja menghilang dari peraduan langit, suara adzan di Masjid pun sudah berakhir. Malam telah tiba, perlahan-lahan bulan mengintip senyum dari bibir mekar Nining. Ia baru saja selesai berdandan. Sejak sore, ia bilang kepadaku, kalau dirinya sudah janjian lagi dengan seseorang yang sama sekali ia tak pernah melihat wajahnya. “Kalau dengar dari suaranya sih kayak dia sudah berumur” kata Nining bercerita selepas pulang kampus, sore tadi. Selama ini, sebelum kencan Nining sudah saling kirim-kirim gambar via smartphone dengan calon pelanggannya tersebut, berbeda dengan “pria semalam” Nining kali ini. Pria itu mengaku tidak punya alat canggih untuk saling kirim foto. Namun, dengan modal nekat, kali ini juga perempuan semester 5 itu, menerima tawaran laki-laki itu.

Tepat pukul 20. 00 Wita, dengan keriuhan kota Makassar, Nining sudah berada di dalam taksi. Malam dengan seabrek aktivitas, para penghuni kota “metropolitan timur” begitu kebanyakan orang menyebutnya. Seperti biasa, jika malam minggu tiba hampir jantung sulsel itu dipenuhi manusia-manusia. Mungkin saja melepas penat atau memenuhi hasrat dengan orang-orang tercinta. 

“Dek, ke hotel Salis ya?” kata sopir taksi bertubuh kekar itu
“Iya pak, ke langit, langsung ke hotel saja” kata Nining dengan judes.
Entah sudah beberapa kali, pria yang ingin dituju Nining menghubungi dirinya. Namun dengan alasan singgah di apotek, akhirnya calon teman kamarnya menutup telepon. Rok mini warna hitam dipadukan dengan tanktop kuning yang ditutupi jaket warna gelap. Ia tampak cantik sekali malam itu, high heel yang dia kenakan pun semakin membuat sensual penampilannya. 

Ia pun bergegas menuju lantai 7, seperti informasi yang diberikan si pelanggan. Kamar 703, ia mengetuk pintu. “Langsung masuk saja, aku di kamar kecil” teriak lelaki dalam kamar itu. Nining pun langsung masuk, ia duduk dipinggir kasur sambil menunggu. “Hallo, dari tadi?” tegur pria yang sedang menggosok kepalanya dengan handuk. Perlahan-lahan Nining mengangkat wajahnya untuk melihat laki-laki misterius tersebut. 
“Ayah, kamu Ayah?” tanya Nining dengan kaget.
“Ning?”balas lelaki tua itu. Begitu tegang suasana malam itu. Nining mencoba berlari ke pintu, ia ingin meninggalkan kamar tersebut. Ia tak pernah menduga, kalau laki-laki yang selama ini membuatnya penasaran ternyata orang tua kandungnya sendiri. 
Desiran air hujan malam itu mengguyur Makassar, beberapa kali tamparan menimpali pipi Nining. Air mata berurai tak lagi dapat dibendung. Mata merah juga nampak di pandangan ayahnya. Lelaki itu memeluk erat Nining, sambil mengelus-elus bahunya. Ia sadar, selama meninggal anaknya, dia kurang perhatian. Semua dipikirkannya adalah uang, hampir 3 bulan terakhir sebagai seorang ayah dirinya tak pernah menanyakan perihal kabar Nining, anaknya. Ayah Nining adalah salah seorang pengusaha besar, hampir tiap bulan dia keluar kota dalam waktu yang lama. 

Tuhan menakdirkan mereka bertemu dalam agenda haram, ketika orang tua dan anaknya tak pernah lagi saling menyapa. Maka, kehidupan semau gue yang berjalan. Dan pertemuan malam itu,  Saat itu pulalah, keduanya sadar bahwa manusia hanyalah budak nafsu dan lainnya adalah produk nafsu.
Bersambung.........

Ini hanya gambaran, secuil kehidupan kampus...stigma


***Asri Ismail (6/12/2014)

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...