Wednesday 10 December 2014

Kunang-kunang Kampus #3

Kami pun turun, di sebuah tempat. Bagiku, tempat ini tidak asing lagi. Kerap kali saya antar Nining dulu untuk menemui pelanggannya. Hotel berbintang itu berlantai 12, Nining menarik lenganku. "Ayo Gus, orang itu dari tadi menunggu," Nining berlari kecil menuju ruangan yang dimaksud, aku mengikut dari belakang. Terdengar suara pintu terbuka, aku melihat pria itu secara samar-samar sedang merapikan kasur. Sepertinya, aku pernah melihat dia sebelumnya.

"Ning, ada apa ini?" Begitu bergetar tubuhku melihat sosok lelaki itu. Nining, langsung masuk saja dan ia melempar senyum pada laki-laki itu. Saya tafsir umurnya diatas 50-an. "Ada apa Ayah," Tiba-tiba suara dari toilet memannggil laki-laki yang sedang bercuap-cuap bersama Nining. Aku masih berada di luar kamar, dengan penasaran untuk segera melihat wanita dalam toilet itu. Laki-laki berkumis itu tetap saja memegang erat tangan Nining, ia mengajak Nining duduk di bibir kasur. Aku memulai langkah untuk masuk ke kamar. "Masuk sini, Gus," Pria itu menyebut namaku. Aku masih saja berusaha mengingat kembali, siapa sebenarnya laki-laki itu...

Ilustrasi (Foto : Int)
"Aku  sudah tahu semua masalahmu Ning, ayahmu  cerita semua. Ia menyesal atas perbuatannya," Begitu tutur pria tambung yang  berjarak satu meter di depanku. Aku melihat tetesan air mata kembali berderai di pipi Nining, lalu lelaki itu berusaha mendamaikan hati Nining. Hujan mengguyur kota Makassar, malam itu.

"Ning, kamu dari tadi datang kesini. Maafkan, bunda tadi aku agak lama di kamar mandi, aku bersihkan dulu, kotor Ning (sambil tersenyum)," Terang perempuan berambut pendek itu
"Iya bunda, bunda sudah tahu masalah Nining kan bunda?" Nining menghapus sisa-sisa air matanya yang melekat di pipi.
"Aku sudah tahu semua Ning, kamu yang sabar yah..." Bunda mendekati Nining.

Lalu Nining meminta aku duduk di kursi dekat kasur. Di kamar itu hanya ada dua kursi terbuat dari kayu, satu buah tivi 42 inc dan satu buah kasur yang berukuran relatif besar. Dengan sperai warna putih. Sementara dinding kamar, terkesan elegan, dingin,dan sejuk sebab hampir disemua bagian dinding menggunakan batu marmer.

Lelaki paruh baya itu masih saja memandang ke arahku, aku sepertinya mulai mengingat dirinya. Yang jelas dalam benakku, orang ini sudah tidak asing lagi. Aku ingat gelang tangan yang ia pakai. Gelang hitam kilap pengikatnya. Dengan mode lingkaran. Ya... aku ingat. Belum sempat aku merefresh otak secara sempurna, sontak Nining mengagetkanku. Ia memukul punggungku, keras sekali.

"Ha....ayo..lagi mikir apa (ia tertawa terbahak-bahak), kaget ya Gus?" Tanyanya padaku.
"Ya jelas kagetlah, kamu itu kenapa sih, tiba-tiba senang gitu" Aku menjawab dengan sedikit nada tinggi.
"ya, sorry...sorry...sorry Gus (sambil mencibir pipiku), kamu ingat mereka berdua? (Laki-laki bersama wanita yang kutafsir pasangan suami istri itu menatapku, pandanganya begitu teduh), dia ini Om aku, Bunda Ratih itu istrinya. Ingat gak Gus? (Nining mendesakku, untuk segera menjawab)" Nining mendorong-dorong bahuku.
"Iya, ya..aku ingat" jawabku singkat. Aku hanya pura-pura, padahal sosok kedua orang masih samar-samar.

Setelah semua dicerita panjang lebar, Aku baru ingat. Ternyata, lelaki bertubuh besar itu adalah Om Nining yang tinggal di Jakarta. Ia adalah adik kandung Pak Bambang, ayah Nining. Namanya Burhan. Terakhir kali ketemu,  dua tahun lalu. Ketika liburan, kala itu saya bersama Nining baru sekitar enam bulan jadi mahasiswa. Kalau tidak salah ingat, empat hari kami bermalam di Ibu Kota. Pak Burhan dan Ibu Ratih lah yang memperkenalkan saya kota metropolitan itu.

Kalau diflashback sepertinya, banyak sekali perubahan yang nampak pada Om Burhan, terumatama pustur tubuhnya yang makin besar. Rambutnya yang sudah banyak memutih, lucunya ia baru saja potong kumisnya. Begitu juga denga Tante Ratih, pertama kali aku melihatnya tidak pakai jilbab. Dulu, waktu di Jakarta, setiap aku ketemu jilbabnya tidak pernah lepas.

Sejak berumur 5 tahun, Nining menghabiskan masa kecil hingga dewasa bersama dengan kedua orang yang ada bersama kami ini. Hal dikarenakan Ibu dan Ayah Nining bercerai, makanya Nining dititip sama Om Burhan. Kebetulan Om Burhan dan Tante Ratih ditakdirkan tidak bisa memiliki keturunan. Menurut penuturan lelaki yang saat ini menjabat sebagai Direksi Perusahaan  yang bergerak dibidang ekspor barang dan jasa tersebut, Ibu Ratih mandul. Bagi, mereka cinta adalah titipin terindah Tuhan untuknya, selebihnya adalah hadiah. Dan hadiah untuk meminang anak belum diberikan.

Sebelumnya, menurut cerita Nining, Om Burhan tinggal di daerah pelosok yang ada di Sulawesi Selatan, namun karena tekadnya yang besar, ia mencoba peruntungan di Jakarta. Sejak itu pula, Nining tidak satu atap lagi dengan mereka. Nining memilih melanjutkan kuliah di Makassar. Nining sudah menganggap kedua orang itu seperti orang tua kandungnya sendiri. Mereka begitu saling menyayangi. Sejak sekolah hingga kuliah, Kedua orang itulah yang membiayai hidup Nining. Dan sejak itupula, karena kedua orang tuanya semua di Jawa, aku selalu saja mengejek Nining gadis Jawa yang nyasar.

Kedatangan mereka berdua di Makassar untuk menjenguk Nining, memastikan keadaan Nining. Soalnya, seusai kejadian bersama Ayahnya. Pak Bambang datang memberitahukan kepada Om Burhan mengenai perbuatan kejinya. Om Burhan tidak bisa berbuat apa-apa selain memberikan nasehat. Om Burhan menilai ini hanya cobaan Tuhan.

Selain datang menjenguk Nining, Om Burhan bersama istrinya juga menyempatkan diri untuk pergi keliling Kota Daeng, begitu sebutan para penghuni kota ini. Satu minggu mereka di Makassar, lalu terbang lagi ke Jakarta. Sebab, katanya banyak pekerjaan menumpuk yang ditinggalkan disana.

*****

Setahun sudah Nining meninggalkan dunia hitam yang pernah digeluti. Kini ia tercatat sebagai mahasiswa semester VII, dalam hitungan normal tinggal selangkah lagi Nining menyandang gelar sarjana, begitupun saya. Tercatat sudah banyak laki-laki yang mencoba mendekati Nining, terakhir dengan kakak senior yang entah sudah berapa kali ia melewati semester VIII tapi belum juga lulus-lulus.  Tak satupun yang srek di hati Nining. Ia lebih memilih sendiri dulu, kadang ia bercanda kepadaku, katanya masih ada sisa-sisa luka padanya. selalu begitu jawabannya ketika saya tanya tentang kesendiriannya. 

Pada kuncup bunga yang ditinggal senja, pada asa yang meminta langit jingga. Lalu, ribuan kumbang menyalahkan hujan. Kisah Nining, berhenti. Lembaran-lembaran baru sudah mulai ia jejaki. Tak pernah lagi ia absen dalam kuliah. Ia juga mulai masuk di beberapa organisasi dan komunitas yang ada di Makassar. Tak pernah lagi saya melihat dirinya murung, senyumnya tak pernah lepas ketika bertemu dengan orang-orang yang mengenalnya. 

Tak ada yang mampu membantah  kalau Nining memang gadis yang cantik. Rambut panjang yang lurus, tinggi yang ideal, kalau tidak salah Nining tingginya 1, 71 meter . Postur tubuh yang sangat seksi. Perihal wajah, jangan ditanya ia sebelas duabelas dengan Lyra Virna. Begitu pun kulitnya yang putih mulus. Hingga pria manapun yang sempat memandang Nining, pasti jatuh hati padanya. 

Dalam beberapa komunitas dan organisasi yang diikuti, tak jarang Nining menjadi salah satu alternatif jika mereka membutuhkan anggaran untuk kegiatan. Nining paling diandalkan apabila untuk persoalan menembus anggaran. Kata beberapa teman mereka, Nining pintar sekali mengambil hati para bos yang ditemuinya. Salah satu alasan yang paling utama, wajah Nining yang menarik. 

Suatu malam, selepas Magrib,  Handphone milik Nining berdering. Pak Direk memanggil, begitu tulisan yang saya amati di HP Nining. Nining juga kaget, baru kali ini ada telpon dari lelaki itu. Padahal kegiatan yang dibantu langsung oleh beliau sudah empat bulan berlalu. Tanpa pikir panjang, Nining answers saja panggilan itu. "Hallo..Pak, ada apa ini" Begitu cara Nining menjawab dengan basa-basi. Tampak gerakan Nining, menyuruh aku diam. Mungkin dia takut kalau suaraku kedengaran. "Bagaimana kabarmu Ning, lama ya tidak ke kantor. Aku kangen (sambil cengingisan)" suara dibalik telepon itu. "Baik pak, saya juga kangen, aku sibuk urus kuliah pak" Nining melepas switer yang masih di pakainya.

Perbincangan mereka banyak sekali, aku tidak mampu menangkap secara jelas. Sepintas saya dengar, Pak Direk seperti itu sapaan Nining kepada pria yang sedang komat-komit dengannya. Mengajak Nining untuk makan malam di sebuah Rumah Makan (RM) yang tak jauh dari kantor Walikota.

"Gus, aku janjian sama Pak Direk, kamu temani aku lagi ya..plisss," Nining memohon lagi, ini untuk kesekian kalinya aku temani dia. "Kamu tidak seperti yang dulu lagi kan? maksud saya tidak menjual diri. Sorry kalau saya agak kasar" Aku mencoba lagi mengorek sedalam mungkin. Aku hanya takut Nining kembali lagi pada tingkahnya seperti dulu. "Tidak Gus, percaya aku. Pak Direk tawarkan saya pekerjaan, itu aja" Nining lagi-lagi berusaha meyakinkanku.

Hari H telah tiba, RM Nikmat menjadi pilihan Nining untuk ketemu, Disana saya melihat seorang pria sudah menunggu. Dengan style menawan, kombinasi baju batik dan celana kain seperti pejabat-pejabat lainnya. Pria itu menyapa mesra kami. Kami pun memesan beberapa makanan, Nining hanya menyuruh pelayan memberinya Jus Alpukat. Sepertinya Nining lagi tidak lapar, begitupun dengan Pak Direk, ia hanya memesan kopi dan beberapa gorengan. Beda dengan aku, yang sedari tadi perut aku kosong

Sekira, sudah tiga jam kami bercup-cuap. Satu hal yang membuat aku kaget, Pak Direk malah dari tadi bukan memandang Nining, ia memandang terus ke arah aku. Aku malah jadi gugup. Tak pernah aku bicara banyak, kecuali kalau Nining meminta aku bicara. "Gus, masih single" tanya Pak Direk singkat kepadaku.

Pak Direk ternyata bernama Suparno, ia asli Jawa Tengah. Saya taksir seumuran dengan Ayah Nining, 52 tahun. "Aku minta nomor kamu ya, (sambil memegang-megang tanganku)" Aku kasih saja, takutnya dianggap tidak menghargai dia. Pikiranku pun kemana-kemana, laki-laki ini sepertinya sakit. Bukannya Nining jauh lebih cantik dibanding aku. Lagian, aku agak tomboi. Jarang sekali saya memakai rok seperti gadis-gadis lainnya.

"Tapi dari dulu saya sebenarnya, memang menyukai lelaki seumuran beliau" gumamku dalam hati. Sekali pun namaku mirip laki-laki, tapi beberapa teman-teman cowok di kampus menilai aku lumayan cantik. Oh ya, nama asli aku Gusnani. Cuma beberapa kawan dan sahabat saya selalu memanggil saya Gusnan atau Gus saja. Ceritanya, waktu kecil, orang tua aku saat dalam kandungan mengira aku berjenis kelamin laki-laki. Jadi sebelum dilahirkan, aku sudah disiapkan nama, ya Gusnan. Tapi ternyata Tuhan berkata lain, aku ditakdirkan sebagai perempuan. Daripada repot-repot, Ayahku hanya menambahkan huraf i setelah nama Gusnan, jadilah aku Gusnani. Mungkin gara-gara itu juga, gaya berpakaian aku seperti laki-laki.

Rambutku yang panjang dan hitam ini jugalah yang membuat Om Burhan diam-diam menyukai aku. Teringat saat dia berada di Makassar, beberapa kali memeluk aku dari belakang. Itu ketika Ibu Ratih lagi keluar belanja bersama Nining. Sat hal yang aku andalkan dari tubuh saya, saya memiliki tonjolan dada yang diatas rata-rata.

Bersambung......


***Asri Ismail (10/11/14) 






















Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...