Tuesday 4 November 2014

Dusta Hujan


Angin tak henti-hentinya menarik terik. 
Suguhan langit pada kesetiaan menyinari. 
Lewati bulan-bulan, waktu bersama cahayanya. 
Kunang-kunang berhenti menjaga malam.

Bunga, termasuk di taman.
Masih belajar perihal kuncup, mekar jangan ditanya. 
Kemarau sore, pagi, siang juga malam. 
Padang ilalang, kau sebut bunga-bunga. 
Sampai kapan dusta berhenti menuai.

Air, lengkap dengan segala pembelaannya. 
Hari ini dan beberapa puluh hari sebelumnya, kita menikmati pertanyaan sama. 
Kenapa belum juga datang? Rentang waktu belum menjawab. 
Itu hujan. 

Kali ini, kita menanti padang. 
Dengan tawaran oase menahan haus. 
Lihat mereka Tuhan, manusia bersama ilusinya. 
Air mata langit, tak kunjung bertandang. 
Mungkin butuh pukulan, bahkan tikaman, katanya supaya menangis. 
Ah..aku juga seperti mereka.

Pohon tahu, kenapa daun lama berganti hijau. 
Pula, ikan atas air menggenanginya. 
Dan penghuni-nya yang kita sebut manusia, lelah karenanya. 
Berhentilah, berpura-pura atas murammu, langit.

(Foto : Searching internet)


Kini, kita memikul harapan. 
Untuk langit berserta empu-Nya. 
Kabari kedatanganmu, agar tidak ada haus yang mati atas khianat hujan. 
Lagi-lagi, kami minta ganti cobaan ini. 
Hujan terlalu lama sembunyi, semoga tak lupa, Tuhan. 


**Asri Ismail

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...