Di zaman serba ada ini,
tampaknya konotasi akan interpretasi pahlawan sudah mengalami pergeseran makna.
Bukan lagi mereka yang bertempur dengan gagah berani di medan perang, lalu
merebut kemerdekan atas nama bangsa dan negara. Era pembangunan telah merubah
segalanya, dulu di era tahun 90-an muncul nama guru yang disematkan sebagai
pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, seiring berjalannya zaman paradigma itupun
luntur lantaran munculnya pelbagai fenomena yang mengikisnya, konon para guru
sekarang lebih mengejar yang namanya uang dibanding betul-betul menghibahkan
dirinya untuk mengajar dan mendidik muridnya.
Lalu siapa saja yang
berhak menyandang gelar pahlawan itu? Pertanyaan itu saya pikir lebih mengarah
kepada subjektivitas masing-masing person. Sebab, hingga saat ini kriteria
untuk penyematan kata pahlawan tidak jelas. Dulu, untuk menyebut seseorang
pahlawan relatif mudah, sebab hampir mereka yang kita agung-agungkan sebagai
pahlawan adalah mereka yang tercatat namanya dalam sejarah, disebabkan
perjuangannya melawan penjajah dan kecintaannya akan bangsa dan negara melebih
kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Hanya saja, jika masa
sekarang kecenderungan kita adalah mereka-mereka yang memiliki sumbangsi besar
bagi negara kita. Semisal, mengharumkan nama negara karena prestasinya hingga
dikancah internasional, atau bagi mereka yang telah menciptakan alat atau
menemukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan banyak lagi lainnya.
\
Namun, bagi saya
entitas akan pahlawan lebih mengarah kepada siapa saja yang dalam hidup kita
telah memberi kontribusi besar untuk masa depan kita. Tanpa menafikkan kedua
orang tua saya yang saya sebut “Tuhan” dalam hidupku, ada seorang wanita yang
begitu mulia telah merawat dan menyayangi saya.
Keberanian saya
menyebutnya sebagai pahlawan, sebab jujur dalam perjalanan hidup saya, wanita
itulah dari setengah hidup saya diusia saya saat ini, beliau-lah yang memiliki
andil besar terhadap perkembangan dan masa depan yang saya jalani sekarang.
Kasua,
Nenekku Pahlawanku
Beranjak dari
pernyataan saya diatas, Kasua adalah nama perempuan tua itu yang memiliki
segala persyaratan untuk saya sebut pahlawan. Beliau lahir 67 tahun silam. Dan
atas izin Tuhan, beliau berhasil melahirkan seorang anak laki-laki yang saat
ini menjadi orang tua kandung saya.
Untuk lebih jelasnya,
saya sedikit uraikan tentang pengalaman hidup saya bersama nenek saya itu.
Sejak masuk sekolah dasar saya sudah tinggal bersamanya, saat itu saya baru berumur
6 tahun, sebab kala itu kedua orang tuaku berangkat ke Malaysia mencari nafkah,
alhasil saya dititipkan kepada nenek saya. Hari-hari saya habiskan bersamanya.
Selama enam tahun,
beliau mengasuh saya sampai saya benar-benar lulus di sekolah dasar. Oh ya,
saya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 127 Bila. Sebuah desa
kecil yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi-Selatan.
Suatu ketika, ada
sebuah permasalahan krusial yang juga membuat saya kalap dibuatnya. Saat tamat
di sekolah dasar, hampir semua keluarga saya melarang saya untuk melanjutkan
studi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di tahun 2003. Alasannya beragam. Ada
yang menginginkan saya untuk membantu kakek bekerja di kebun, karena katanya
dia sudah tua. Ada pula yang mengatakan kepada saya bahwa keluarga kita memang
sudah petani, jadi sudah sepantasnya saya mengikuti jejak mereka. Bahkan, kedua
orang tua saya pun meminta kepada saya agar ke Malaysia untuk mencari nafkah
dan segera menikah.
Niat untuk lanjut pun
sempat saya urungkan. Bukan apanya, terlalu banyak terdengar di telinga saya
yang intinya melarang saya untuk lanjut sekolah, sebab bagi mereka sekolah
tidak menjamin hidup lebih baik. “Lihat saja, anak kepala sekolahmu
(Baca-Kepala Sekolah SDN 127), sudah sekolah sampai SMA, tetap saja
menganggur,” tegur kakek kepada saya kala itu dengan dialek bugisnya.
![]() |
Ilustrasi (Search : Google) |
Seminggu sebelum
pendaftaran di tutup untuk SMP di daerah saya, tiba-tiba saja semangat saya
untuk melanjutkan pendidikan kembali menggebu. Terlebih, ketika saya melihat
sebagian besar teman-teman kelas saya waktu di SD berlomba-lomba mendaftar.
Ketika itu pula, saya seolah tidak peduli lagi apa omongan orang lain. Sebab
motivasi saya kala itu, ya lanjut seperti yang dilakukan teman-teman saya. Saya
kemudian terbentur lagi persoalan dana. Sebab, setiap siswa baru yang masuk di
sekolah itu (SMP pilihan saya) harus membayar uang pendaftaran sebesar Rp200
ribu.
Karena bagiku tidak ada
lagi tempat saya mengaduh dan mengeluh selain nenek saya, Semuanya menolak jika
saya lanjut sekolah. Saya mencoba mengomunikasikan masalah itu kepada beliau.
Tanpa pikir panjang, dia menyodorkan uang yang aku minta untuk jaminan masuk di
SMP. Betapa girangnya hatiku kala itu. Meski saya tahu bahwa uang yang diambil
dari tas kecilnya itu begitu disembunyikan rapat-rapat di dalam lemari
pakaiannya. Mungkin saja, uang itu tabungannya. “Tinggal ini uang saya nak,
pakai saja,” kata nenek kepada saya. Kalimat itu hingga saat ini masih
teringan-ngiang di telinga saya. Betapa besar cinta nenek kepada saya, uang
yang menjadi “penjaga” dompetnya
dikorbankan hanya untuk kebahagiaan saya.
Dan perlu diketahui,
awal saya masuk sekolah SMP, mulai celana, baju, tas, dasi sekolah itu adalah
pemberian dari orang-orang yang anaknya pernah merasakan dunia SMP. Sementara
hanya buku-buku tulis tidak saya beli,
sebab saat pengumuman juara umum di SD saya, saya mendapat lumayan banyak buku
sebagai hadiah dari guru-guru saya oleh karenanya saya berhasil juara umum. Dan
nenek saya pula lah yang mendatangi para tetangga-tetangga untuk memintakan
semua barang-barang keperluan saya itu (Baca- baju, celana, tas,dan dasi sekolah).
Sedih dan bangga juga rasanya memiliki orang seperti nenek, dia tak pernah
mengeluh untuk membantu saya. Bahkan, tidak hanya urusan sekolah.
Hampir satu tahun saya
melakoni sebagai siswa SMP tak ada sedikitpun sumbangsih dari keluarga saya.
Mungkin saja masih kecewa, karena saya menantang kemauan mereka. Setiap
harinya, nenek saya lah yang kadang kala memberi uang jajan jika ada rezeki.
Belum lagi, nenek juga harus membangunkan saya setiap subuh untuk bergegas,
sebab jarak antara rumah dengan sekolah berkisar 5 km, lumayan jauh untuk saya
tempuh dengan jalan kaki bersama satu orang sahabat saya bernama Suaib.
Hingga, dua tahun sekolah, saat itu saya berhasil
menjadi rangking satu di kelas dan juara umum, orang tua dan keluarga saya yang
lain mulai menyadari dan mendukung saya untuk tetap melanjutkan sekolah. Bukti
dukungan mereka pun dengan mengirimkan saya biaya sekolah setiap bulannya dari
Malaysia tempat kedua orang tuaku mencari nafkah. Sebuah kebahagian yang tak
terhingga saya rasakan kala itu.
Hingga sekarang, saya
duduk di bangku kuliah tentu merupakan hasil perjuangan dari nenek saya yang
telah membantu saya memulai langkah kaki ini. Meski, beliau sudah tidak mampu
lagi membiayai saya, dan orang tua saya lah yang mengambil alih semua keperluan
saya lagi. Tapi, saya pikir apa yang saya dapatkan sekarang adalah efek dari perjuangan
nenek saya. Mungkin, jika saja nenek saya tidak hadir waktu itu, saya tidak
akan bisa seperti ini, kuliah, punya banyak teman, bisa bertemu dengan
orang-orang hebat.
Itulah sedikit cerita
saya yang saya lalui bersama nenek saya, teman dan sahabat tidur saya waktu
masih sekolah di SD. Beliau adalah manusia berhati malaikat yang dikirim Tuhan
untuk membantu saya. Saya rasa, menyebutnya sebagai perempuan akhir zaman,
tidak ada salahnya, sebab karenanya saya masih bisa berharap masa depan lebih
baik dengan pendidikan yang saya tempuh saat ini. Tidak saya bayangkan jika
saja saya sampai patah arang karena pendidikan saya hanya sampai SD, walau
dirinya sendiri tidak pernah merasakan yang namanya sekolah tapi kesadarannya
akan pendidikan sangat tinggi, terima kasihku tak terhingga untukmu nenekku,
Kasua. Pahlawan penentang zamanku. (#)
Tulisan ini saya tulis ketika menjadi Kontributor di Lembaga Maperwa Universitas Negeri Padang
19 November 2013