Thursday, 19 December 2013

Nenekku, Aku Memanggilnya Perempuan Akhir Zaman


Di zaman serba ada ini, tampaknya konotasi akan interpretasi pahlawan sudah mengalami pergeseran makna. Bukan lagi mereka yang bertempur dengan gagah berani di medan perang, lalu merebut kemerdekan atas nama bangsa dan negara. Era pembangunan telah merubah segalanya, dulu di era tahun 90-an muncul nama guru yang disematkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun, seiring berjalannya zaman paradigma itupun luntur lantaran munculnya pelbagai fenomena yang mengikisnya, konon para guru sekarang lebih mengejar yang namanya uang dibanding betul-betul menghibahkan dirinya untuk mengajar dan mendidik muridnya.

Lalu siapa saja yang berhak menyandang gelar pahlawan itu? Pertanyaan itu saya pikir lebih mengarah kepada subjektivitas masing-masing person. Sebab, hingga saat ini kriteria untuk penyematan kata pahlawan tidak jelas. Dulu, untuk menyebut seseorang pahlawan relatif mudah, sebab hampir mereka yang kita agung-agungkan sebagai pahlawan adalah mereka yang tercatat namanya dalam sejarah, disebabkan perjuangannya melawan penjajah dan kecintaannya akan bangsa dan negara melebih kecintaannya terhadap dirinya sendiri.
Hanya saja, jika masa sekarang kecenderungan kita adalah mereka-mereka yang memiliki sumbangsi besar bagi negara kita. Semisal, mengharumkan nama negara karena prestasinya hingga dikancah internasional, atau bagi mereka yang telah menciptakan alat atau menemukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat dan banyak lagi lainnya.
\
Namun, bagi saya entitas akan pahlawan lebih mengarah kepada siapa saja yang dalam hidup kita telah memberi kontribusi besar untuk masa depan kita. Tanpa menafikkan kedua orang tua saya yang saya sebut “Tuhan” dalam hidupku, ada seorang wanita yang begitu mulia telah merawat dan menyayangi saya.
Keberanian saya menyebutnya sebagai pahlawan, sebab jujur dalam perjalanan hidup saya, wanita itulah dari setengah hidup saya diusia saya saat ini, beliau-lah yang memiliki andil besar terhadap perkembangan dan masa depan yang saya jalani sekarang.

Kasua, Nenekku Pahlawanku

Beranjak dari pernyataan saya diatas, Kasua adalah nama perempuan tua itu yang memiliki segala persyaratan untuk saya sebut pahlawan. Beliau lahir 67 tahun silam. Dan atas izin Tuhan, beliau berhasil melahirkan seorang anak laki-laki yang saat ini menjadi orang tua kandung saya.
Untuk lebih jelasnya, saya sedikit uraikan tentang pengalaman hidup saya bersama nenek saya itu. Sejak masuk sekolah dasar saya sudah tinggal bersamanya, saat itu saya baru berumur 6 tahun, sebab kala itu kedua orang tuaku berangkat ke Malaysia mencari nafkah, alhasil saya dititipkan kepada nenek saya. Hari-hari saya habiskan bersamanya.

Selama enam tahun, beliau mengasuh saya sampai saya benar-benar lulus di sekolah dasar. Oh ya, saya mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 127 Bila. Sebuah desa kecil yang terletak di Kabupaten Bone, Sulawesi-Selatan.

Suatu ketika, ada sebuah permasalahan krusial yang juga membuat saya kalap dibuatnya. Saat tamat di sekolah dasar, hampir semua keluarga saya melarang saya untuk melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di tahun 2003. Alasannya beragam. Ada yang menginginkan saya untuk membantu kakek bekerja di kebun, karena katanya dia sudah tua. Ada pula yang mengatakan kepada saya bahwa keluarga kita memang sudah petani, jadi sudah sepantasnya saya mengikuti jejak mereka. Bahkan, kedua orang tua saya pun meminta kepada saya agar ke Malaysia untuk mencari nafkah dan segera menikah.
Niat untuk lanjut pun sempat saya urungkan. Bukan apanya, terlalu banyak terdengar di telinga saya yang intinya melarang saya untuk lanjut sekolah, sebab bagi mereka sekolah tidak menjamin hidup lebih baik. “Lihat saja, anak kepala sekolahmu (Baca-Kepala Sekolah SDN 127), sudah sekolah sampai SMA, tetap saja menganggur,” tegur kakek kepada saya kala itu dengan dialek bugisnya.

Ilustrasi (Search : Google)
Seminggu sebelum pendaftaran di tutup untuk SMP di daerah saya, tiba-tiba saja semangat saya untuk melanjutkan pendidikan kembali menggebu. Terlebih, ketika saya melihat sebagian besar teman-teman kelas saya waktu di SD berlomba-lomba mendaftar. Ketika itu pula, saya seolah tidak peduli lagi apa omongan orang lain. Sebab motivasi saya kala itu, ya lanjut seperti yang dilakukan teman-teman saya. Saya kemudian terbentur lagi persoalan dana. Sebab, setiap siswa baru yang masuk di sekolah itu (SMP pilihan saya) harus membayar uang pendaftaran sebesar Rp200 ribu.

Karena bagiku tidak ada lagi tempat saya mengaduh dan mengeluh selain nenek saya, Semuanya menolak jika saya lanjut sekolah. Saya mencoba mengomunikasikan masalah itu kepada beliau. Tanpa pikir panjang, dia menyodorkan uang yang aku minta untuk jaminan masuk di SMP. Betapa girangnya hatiku kala itu. Meski saya tahu bahwa uang yang diambil dari tas kecilnya itu begitu disembunyikan rapat-rapat di dalam lemari pakaiannya. Mungkin saja, uang itu tabungannya. “Tinggal ini uang saya nak, pakai saja,” kata nenek kepada saya. Kalimat itu hingga saat ini masih teringan-ngiang di telinga saya. Betapa besar cinta nenek kepada saya, uang yang  menjadi “penjaga” dompetnya dikorbankan hanya untuk kebahagiaan saya.
Dan perlu diketahui, awal saya masuk sekolah SMP, mulai celana, baju, tas, dasi sekolah itu adalah pemberian dari orang-orang yang anaknya pernah merasakan dunia SMP. Sementara hanya buku-buku tulis  tidak saya beli, sebab saat pengumuman juara umum di SD saya, saya mendapat lumayan banyak buku sebagai hadiah dari guru-guru saya oleh karenanya saya berhasil juara umum. Dan nenek saya pula lah yang mendatangi para tetangga-tetangga untuk memintakan semua barang-barang keperluan saya itu (Baca- baju, celana, tas,dan dasi sekolah). Sedih dan bangga juga rasanya memiliki orang seperti nenek, dia tak pernah mengeluh untuk membantu saya. Bahkan, tidak hanya urusan sekolah.

Hampir satu tahun saya melakoni sebagai siswa SMP tak ada sedikitpun sumbangsih dari keluarga saya. Mungkin saja masih kecewa, karena saya menantang kemauan mereka. Setiap harinya, nenek saya lah yang kadang kala memberi uang jajan jika ada rezeki. Belum lagi, nenek juga harus membangunkan saya setiap subuh untuk bergegas, sebab jarak antara rumah dengan sekolah berkisar 5 km, lumayan jauh untuk saya tempuh dengan jalan kaki bersama satu orang sahabat saya bernama Suaib.

Hingga,  dua tahun sekolah, saat itu saya berhasil menjadi rangking satu di kelas dan juara umum, orang tua dan keluarga saya yang lain mulai menyadari dan mendukung saya untuk tetap melanjutkan sekolah. Bukti dukungan mereka pun dengan mengirimkan saya biaya sekolah setiap bulannya dari Malaysia tempat kedua orang tuaku mencari nafkah. Sebuah kebahagian yang tak terhingga saya rasakan kala itu.

Hingga sekarang, saya duduk di bangku kuliah tentu merupakan hasil perjuangan dari nenek saya yang telah membantu saya memulai langkah kaki ini. Meski, beliau sudah tidak mampu lagi membiayai saya, dan orang tua saya lah yang mengambil alih semua keperluan saya lagi. Tapi, saya pikir apa yang saya dapatkan sekarang adalah efek dari perjuangan nenek saya. Mungkin, jika saja nenek saya tidak hadir waktu itu, saya tidak akan bisa seperti ini, kuliah, punya banyak teman, bisa bertemu dengan orang-orang hebat.


Itulah sedikit cerita saya yang saya lalui bersama nenek saya, teman dan sahabat tidur saya waktu masih sekolah di SD. Beliau adalah manusia berhati malaikat yang dikirim Tuhan untuk membantu saya. Saya rasa, menyebutnya sebagai perempuan akhir zaman, tidak ada salahnya, sebab karenanya saya masih bisa berharap masa depan lebih baik dengan pendidikan yang saya tempuh saat ini. Tidak saya bayangkan jika saja saya sampai patah arang karena pendidikan saya hanya sampai SD, walau dirinya sendiri tidak pernah merasakan yang namanya sekolah tapi kesadarannya akan pendidikan sangat tinggi, terima kasihku tak terhingga untukmu nenekku, Kasua. Pahlawan penentang zamanku. (#)

Tulisan ini saya tulis ketika menjadi Kontributor di Lembaga Maperwa Universitas Negeri Padang
19 November 2013

Comments
1 Comments

1 comment:

Andha Asmin said...

nenek kasua, the real wonder woman

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...