Sunday, 3 March 2013

Pak Dauda, Lelaki Tua di Seberang Kampung


Sore ini, aku dan kedua teman KKNku diajak oleh Pak Natsir bapak posko kami, yang saat ini bekerja sebagai polisi di Polres Soppeng. Kami berangkat ke sebuah perkampungan yang berjarak sekitar 5 km dari posko. Dengan mengendarai motor, kami pun melaju ke tempat tersebut.

Jalanan yang tak beraspal alias hanya berbatu-batu, berikut hutan jati yang menjadi pemandangan indah dalam perjanan kami, memasuki kampung itu hampir 2 km tak ada rumah yang kami temui, yang ada hanyalah pohon-pohon jati, semak-semak belukar dan beberapa petani yang lalulalang menuju ke kebunnya.

Setiba disana, kami langsung bertandang ke rumah yang kami maksud. Seorang ibu dan kedua anaknya menyambut kami dan meminta kami naik di rumah kayu miliknya. Kami lalu disuguhkan minuman dan kue, tapi saya kurang tau kue itu apa namanya, yang jelas semacam kue tradisional, bentuknya lebar dan berwarna putih, berisikan kelapa.

Oh ya, kampung tersebut bernama desa Ompo, di lingkungan itu jarak antar rumah saling berjauhan, di rumah yang aku singgah saja nampak hanya ada 5 buah rumah di sekelilingnya.

Sambil menyeduhkan minuman yang tadi disuguhkan,datang lelaki paruh baya kalau saya taksir sudah sekitar 50 tahun usianya, berkulit hitam, mungkin akibat sengatan matahari yang setiap hari membakar tubuhnya. Dia begitu tampak kurus, kumisnya pun sudah beberapa helai memutih. Baju bergambar salah satu partai, tak terlihat jelas lagi sebab warnanya telah bercampur dengan tanah.
Ilustrasi

Sebatang rokok dihisapnya, asap-asapnya berhamburan di sekeliling mulutnya. Ia duduk, dan menyilangkan kakinya. Celana pendek berwarna putih ia pakai pun sudah berwarna coklat tanah. Ia bernama Pak Dauda, lelaki ini memiliki 5 orang anak, 3 lelaki dan 2 prempuan. Anak sulungnya, sementara ini sudah bekerja, sementara 3 orang anaknya masih kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Sementar yang satunya masih duduk di bangku kelas 3 SD.

Menurut keterangan istrinya, Pak Dauda sama sekali tak pernah mengeyam yang namanya pendidikan. Pekerjaannya hanyalah bercocok tanam. Namun, ia tak mau kalau sampai kelima mengikuti jejak dirinya yang buta dengan dunia pendidikan.

Sebenarnya, tujuan kedatangan kami di rumahnya adalah untuk mengambil pesanan Bassing-bassing , salah satu alat musik tradisional yang minggu lalu di pesan bapak posko. Saya juga baru tahu kalau pria tua tadi itu, begitu hebat membuat alat musik seperti itu. Ternyata, di masa mudanya Pak Dauda memang sudah terampil memainkan sejumlah alat musik tradisional. Dari kampung ke kampung ia tempati bermain musik, bahkan tak jarang lintas kabupaten.

Bassing-Bassing (Fhoto : Asri Ismail)
Di kediamannya kami menemukan beberapa alat musik yang tersimpan rapi, seperti Gassing-gassing, kecapi, dan Suling. Bahkan, saat itu dia mencoba memperlihatkan kelihaiannya mengetik kecapi dan meniup Bassing-Bassing itu. Dengan bahasa bugisnya yang kental dia mengajari kami. Pak Dauda, pengamatan saya dia sama sekali tak tahu berbahasa Indonesia, ia hanya mampu berbahasa dari hasil transfer bahasa ibunya.

Sebelum pamit, Pak Dauda menyempatkan diri untuk memetik kelapa muda di samping rumahnya, kelapa tersebut kami bawa pulang ke posko. Terima kasih untuk hari ini Pak Dauda, kami salut dengan dirimu.

Asri_Ismail (3/3) Posko KKN-PPL UNM

Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...