Tuesday, 1 January 2013

Hujan Itu Sahabat

Sebenarnya saya tidak ingin bercerita tentang hujan, sebab hujan bukan lah sebuah cerita. Ketika langit menumpahkan airnya, itulah cerita yang sesungguhnya. Hujan itu memiliki cerita sendiri, ia diberikan kebebasan sama Tuhan untuk membasahi bumi.
Diawal tahun baru ini (2013), tampaknya Tuhan memilih Makassar sebagai salah satu kota untuk dipercikkan air mata langit. Sejak tanggal 1 Januari hingga hari ini, sepanjang hari Makassar diguyur hujan. Seolah tak membiarkan matahari melengokkan wajahnya di kota Daeng.

Di jejaring sosial sendiri marak dibicarakan fenomena alam satu ini. Status di FB atau Twitter banyak bercerita akan dampak hadirnya hujan. Ada yang mengeluh, ada pula yang senang karena pekerjaannya bisa diliburkan.
Hujan memang banyak menciptakan cerita, kedatangannya di awal tahun ini menjadi topik paling hot dibicarakan. Hujan…oh…hujan, kalau Sahriny bilang kamu itu “Sesuatu” hehehe….

Bermain-main dengan hujan (Sumber Fhoto : Google Search)
Saya sebenarnya senang bermain dengan hujan, setiap kali hujan datang selalu saja mengingatkan aku pada kenangan-kenangan indah yang pernah aku lewati selama ini. Saya masih ingat masa kecil saya, kala itu saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), betapa bahagianya saya dan teman-teman ketika hujan itu bertandang di kampung halaman kami. Tanpa ada intruksi, kami berlarian di jalan menikmati derasnya rintik-rintik yang membasahi sekujur tubuh kami.

Terlebih, jika hujan datang disaat kami sedang bermain bola di halaman rumah tetangga. Begitu ramainya suara sorak-sorak riuh kami menyambutnya. Semangat kami seketika membucah menikmatinya, dengan semangat pula kami bermain bola. Kami tak pernah memperdulikan lumpur-lumpur yang mengenai pakain kami. Hujan, ia ibarat pil “semangat” kami untuk tetap berlari mengejar bola yang diambil oleh lawan main.

Namun, kalau musim hujan para ibu-ibu di kampung halaman kami, malah berkotek-kotek karena jemurannya tidak kering-kering. Belum lagi, kayu bakarnya ikut kebasah. Sehingga, memasak pun terasa sulit dirasanya. Itulah kisah manusia yang tinggal jauh dari era modernitas, cara tradisonal-lah yang menjadi andalan kehidupan mereka.

Ada satu hal yang paling saya ingat kalau hujan datang, saya masih ingat tingkah lucu dan unik  salah satu teman SMA saya, namanya Andi Asrul. Waktu itu, kami sedang menerima Pelajaran Bahasa Indonesia.Guru mata pelajaran itu, menugaskan kami menciptakan puisi. Seperti berskenario, saat pelajaran berlangsung tiba-tiba hujan deras.

Teman saya Asrul, malah membuat puisi tentang hujan. Saat di mintai untuk membaca puisi ciptaannya di depan kelas. Ia dengan PEDE-nya, berjalan menuju sekitar 1 meter di hadapan Papan Tulis, bahkan mungkin karena ingin diketahui bahwa puisinya dihafal. Ia menyimpang catatan-catatan yang berisikan puisinya di meja guru.

Sejurus kemudian, ia memulai membaca puisinya dengan ekspresif ditambah mukanya yang agak culung waktu itu (hehehe Pisss Asrul), terlebih suasananya dapet banget, sebab saat itu rintik-rintik hujan masih dengan derasnya mengeluarkan ritme diatas atas kelas kami. Kalau tidak salah, isi puisi yang diucapkan seperti ini, “Hujan.. kalau engkau datang kami kebanjiran, Hujan..kalau kau tidak ada kami kekeringan,” ucapnya dengan lantang.

Suasana kelas tiba-tiba riuh diselingi tawa yang terbahak-bahak, sebab ternyata apa yang diucapkan itu, tidak sesuai apa yang ditulisnya, ini diketahui, saat Guru Bahasa Indonesia kami menyuruh Asrul berhenti berpuisi pada saat ia menikmati puisinya. Kenangan itu, begitu indah. Sulit bagi kami (teman-teman kelas saya) melupakan hal itu.

Itulah hujan, ia hadir sebagai sahabat diantara hingar-bingar kehidupan yang kami jalani. Saya senang bisa berteman dengan hujan, sebab hujan memberikan stimulus untuk mengingatkan lalulalang indahnya kenangan-kenangan kami.

_Asri Ismail 


Comments
0 Comments

No comments:

Entitas dari cerita itu lahir dari perenungan atas ide dan bahasa mewadahi perlakuannya. Menulislah...