Sebenarnya saya tidak ingin bercerita tentang
hujan, sebab hujan bukan lah sebuah cerita. Ketika langit menumpahkan airnya,
itulah cerita yang sesungguhnya. Hujan itu memiliki cerita sendiri, ia diberikan
kebebasan sama Tuhan untuk membasahi bumi.
Diawal tahun baru ini (2013), tampaknya Tuhan
memilih Makassar sebagai salah satu kota untuk dipercikkan air mata langit. Sejak
tanggal 1 Januari hingga hari ini, sepanjang hari Makassar diguyur hujan. Seolah
tak membiarkan matahari melengokkan wajahnya di kota Daeng.
Di jejaring sosial sendiri marak dibicarakan
fenomena alam satu ini. Status di FB atau Twitter banyak bercerita akan dampak
hadirnya hujan. Ada yang mengeluh, ada pula yang senang karena pekerjaannya
bisa diliburkan.
Hujan memang banyak menciptakan cerita,
kedatangannya di awal tahun ini menjadi topik paling hot dibicarakan. Hujan…oh…hujan,
kalau Sahriny bilang kamu itu “Sesuatu” hehehe….
![]() |
Bermain-main dengan hujan (Sumber Fhoto : Google Search) |
Saya sebenarnya senang bermain dengan hujan, setiap
kali hujan datang selalu saja mengingatkan aku pada kenangan-kenangan indah
yang pernah aku lewati selama ini. Saya masih ingat masa kecil saya, kala itu
saya masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD), betapa bahagianya saya dan
teman-teman ketika hujan itu bertandang di kampung halaman kami. Tanpa ada intruksi,
kami berlarian di jalan menikmati derasnya rintik-rintik yang membasahi sekujur
tubuh kami.
Terlebih, jika hujan datang disaat kami sedang
bermain bola di halaman rumah tetangga. Begitu ramainya suara sorak-sorak riuh
kami menyambutnya. Semangat kami seketika membucah menikmatinya, dengan
semangat pula kami bermain bola. Kami tak pernah memperdulikan lumpur-lumpur
yang mengenai pakain kami. Hujan, ia ibarat pil “semangat” kami untuk tetap berlari
mengejar bola yang diambil oleh lawan main.
Namun, kalau musim hujan para ibu-ibu di kampung halaman
kami, malah berkotek-kotek karena
jemurannya tidak kering-kering. Belum lagi, kayu bakarnya ikut kebasah. Sehingga,
memasak pun terasa sulit dirasanya. Itulah kisah manusia yang tinggal jauh dari
era modernitas, cara tradisonal-lah yang menjadi andalan kehidupan mereka.
Ada satu hal yang paling saya ingat kalau hujan
datang, saya masih ingat tingkah lucu dan unik salah satu teman SMA saya, namanya Andi Asrul.
Waktu itu, kami sedang menerima Pelajaran Bahasa Indonesia.Guru mata pelajaran
itu, menugaskan kami menciptakan puisi. Seperti berskenario, saat pelajaran
berlangsung tiba-tiba hujan deras.
Teman saya Asrul, malah membuat puisi tentang
hujan. Saat di mintai untuk membaca puisi ciptaannya di depan kelas. Ia dengan
PEDE-nya, berjalan menuju sekitar 1 meter di hadapan Papan Tulis, bahkan
mungkin karena ingin diketahui bahwa puisinya dihafal. Ia menyimpang
catatan-catatan yang berisikan puisinya di meja guru.
Sejurus kemudian, ia memulai membaca puisinya
dengan ekspresif ditambah mukanya yang agak culung waktu itu (hehehe Pisss Asrul), terlebih suasananya dapet banget, sebab saat itu
rintik-rintik hujan masih dengan derasnya mengeluarkan ritme diatas atas kelas
kami. Kalau tidak salah, isi puisi yang diucapkan seperti ini, “Hujan.. kalau engkau datang kami
kebanjiran, Hujan..kalau kau tidak ada kami kekeringan,” ucapnya dengan lantang.
Suasana kelas tiba-tiba riuh diselingi tawa yang terbahak-bahak, sebab ternyata apa
yang diucapkan itu, tidak sesuai apa yang ditulisnya, ini diketahui, saat Guru
Bahasa Indonesia kami menyuruh Asrul berhenti berpuisi pada saat ia menikmati
puisinya. Kenangan itu, begitu indah. Sulit bagi kami (teman-teman kelas saya)
melupakan hal itu.
Itulah hujan, ia hadir sebagai sahabat diantara
hingar-bingar kehidupan yang kami jalani. Saya senang bisa berteman dengan
hujan, sebab hujan memberikan stimulus untuk mengingatkan lalulalang indahnya
kenangan-kenangan kami.
_Asri Ismail